Manusia dan Hutan

Penulis: Qumi Lailatul Fajri, 10 October 2022
image
Hutan Moskona dilihat dari atas pesawat

Kali pertama aku terbang di atas pedalaman Papua, menggunakan pesawat perintis AMA menuju Distrik Moskona Timur, aku terkagum kagum atas apa yang ku lihat. Sepanjang mata memandang hanya gumpalan hijau pepohonan. Tidak ada kendaraan bermotor apalagi gedung-gedung pencakar langit. Hanya hijau dan hijau, sesekali terlihat kelokan sungai yang membentang seperti cacing besar Alaska (you know if you know).

Hutan pemberi hidup. Penduduk Masyeta, dan ku rasa seluruh penduduk pedalaman Papua menjadikan hutan sebagai rumah. Hutan menyediakan makanan dan air bagi kami (sejak aku tinggal di Masyeta, maka aku termasuk bagian dari penduduk “Pedalaman Papua”). Hutan menyediakan rusa, babi, ayam, burung, tikus tanah, kuskus dan ular untuk kami makan. Hutan memberi kami durian, buah merah, jambu dan sumber pangan lain. Hutan menjaga tanah kami agar tidak longsor. Hutan menjaga mata air kami agar tetap jernih. Hutan menyediakan udara bersih untuk paru-paru kami.

Hutan bagiku bukan hanya tentang pohon-pohon tingginya dan segala jenis binatang yang tinggal di dalamnya. Hutan bagiku merupakan sesuatu yang lebih kompleks, ia hidup dan bernyawa, ia berbicara, dan ia merasa.

Hutan menyediakan nyanyian yang melodinya tak kalah indah dari orchestra milik orang kota. Aku merasa kehidupan kota besar seperti Jakarta hari ini sudah menggerus hubungan kasih antar kita dengan alam. Hutan dipandang sebagai komoditas yang menguntungkan (tentu saja bagi manusia semata). Hutan dinilai sebagai uang dan alat pemuas keinginan manusia. Hari ini telah banyak kutemui perusahaan kayu beroperasi hingga ke pelosok-pelosok hutan. Dengan mesin-mesin penghancur yang besar dan berisik itu, mereka bunuh hutan kami. Hari ini manusia berusaha mengusik kehidupan hutan kami, merasa bahwa modernitas lebih baik daripada kesederhanaan (sekaligus kekompleksitasan) alam kami.

Mari kawan-kawan kotaku, ku ajak kamu menikmati betapa damainya hutan kami. Mari duduk bersamaku menikmati silau-teduh di antara rimbunnya ketapang. 

Bahwa kehidupan tidak melulu berputar di sekitar hidup manusia kota. Bahwa kehidupan tidak melulu soal manusia dan keinginan-keinginannya.