Masa Muda Yang Berbeda

Penulis: Adang Chumaidi, 02 November 2022
image
Makan bersama

Bulan April, masih ingat di benakku bulan april ku temui teman-teman sejawat (setidaknya bukan bapak-bapak dan ibu-ibu yang suka tanya “kapan listrik turun”), mungkin terbilang lama untuk aku bisa mendekati mereka atau mereka yang malu-malu mendekatiku, yah kedekatan orang tidak ada yang tau sebesar apapun usahanya. Ada 3 pemuda yang seumuranku, 2 anak SMP kelas 3, tidak banyak tapi sudah cukup untuk menemaniku di desa. Mereka berlima akan melanjutkan pendidikan di luar pulau dan ada yang bekerja di kota pada bulan Juli, waktu yang singkat memang pertemuan kita dan perpisahan kita, karena tujuan masing-masing.

Keakraban kita mengiring kita untuk melakukan kegiatan bermalam di Pantai Wabukeo, pantai yang berada di Dusun Gu, Desa Liwu, berjarak 500 meter dari rumah kita. Pantai wabukeo memang biasa digunakan berwisata khusunya warga batu atas, banyak warga bahkan dari desa timur berkunjung ke pantai wabukeo di setiap akhir pekannya (yah memang wisata di batu atas terbatas, setidaknya ada). Malam minggu kita putuskan untuk melakukan camping disana, ide camping tersebut aku ceritakan ke Alfi (PE Wambongi), ternyata dia juga ingin ikut bermalam apa lagi dia juga berencana membawa pasukan (istilah untuk anak-anak smp). Bertambahlah anggota yang akan menginap di Wabukeo, apa lagi pemuda dusun gu juga mengajak pasukkan yang lainnya.

Sore itu pukul 4 alfi dan pasukan sudah sampai di rumahku, teriakan “mas” yang khas warga batu atas membangunkan lamun ku di gode-gode depan rumah. Lepas itu kita berangkat ke pantai wabukeo, terkumpul setidaknya 20 anak dan pemuda sore itu. Bola yang dibawa anak-anak wambongi langsung kita hantam untuk bermain bola di pantai. Kapan lagi kan bisa bermain bola di pantai yang sepi nan panjang ini, yah meskipun hiasan sampah yang dimuntahkan oleh ombak seakan laut tidak mengizinkan perbuatan manusia yang hina ini menghiasi indahnya pantai wisata di batu atas.

Ada inisiatif dari anak smp untuk memasang perangkap untuk menangkap kepiting kenari (benar, disini masyarakat masih memakan kepiting kenari meskipun sudah dilarang). Kaki-kaki kecil anak smp ini kuat bukan main, kerasnya batuan dan tajamnya karang seakan karet sandal didepan mereka, loncat sana loncat sini bukan lah halangan bagi mereka dan merupakan halangan bagiku untuk menapakinya meskipun sudah memakai alas kaki yang cukup tebal. Sempat terfikir di benakku “bagaimana kalau pelatihan Patriot Energi di pulau batu atas, yakinlah mental baja akan di dapatkan oleh peserta”, pemikiran yang aneh dan cukup gila menghiasi pendakianku untuk memasang kepiting kenari. Pulang dari memasang perangkap kita buat api unggun dan mengelurakan makanan dari masing-masing pasukkan. Makanan jauh dari kata cukup untuk anak sebanyak ini, apalagi persiapan yang kurang matang membuat jatah makan kurang, alhasil pintar-pintar kita membagi makanan alakadarnya. Untung tangkapan kepiting kenari cukup banyak dan masih bisalah mengisi kekosongan perut anak batu atas yang selalu kosong.

Sampai ketika pasukan alfi bertambah pada malam pukul 11. Seketika anak-anak smp desa liwu memasang wajah sinis ketika mereka datang. Dan balasan tatapan sinis mereka lontarkan dari anak smp desa wambongi yang baru datang. Perasaan ku berubah tidak enak dan bertanya-tanya, “kenapa lah ini bocah-bocah”. Kugandeng abang (sebutan akbar, anak bapak ramdin ke-6, aku juga tinggal di rumah bapak ramdin) ku giring dia menuju gazebo yang agak sepi untuk berbincang dengan dia perihal apa yang terjadi.

“mereka musuhan itu mas” kata abang dengan sigap

Cerita yang abang ceritakan tidak lebih seperti film Crow Zero, di dalam smp 2 batu atas memiliki kelompok-kelompok (semacam geng) berdasarkan desa di batu atas bagian barat. Umumnya siswa desa wambongi dan batu atas barat berkolaborasi (sebut saja berkomplot) dan siswa desa liwu sebagai musuh mereka. Entah motivasi apa yang mendorong mereka musuhan, entah jiwa muda mereka, entah lingkungan mereka atau bisa jadi telah menjadi budaya di smp 2 batu atas ini. Intinya tatapan sinis kedua belah pihak tidak bisa dipungkiri bahwa tatapan siap baku hantam (itu yang kurasa pada malam itu).

Untungnya tejo (siswa smp kelas 3 dari desa liwu), alfi dan aku dapat meredam emosi teman-temannya dan mencegah agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan (bisa jadi nama patriot juga ikut menjadi buruk). Malam itu dilanjutkan mencari ikan dan makan bersama, tak lupa ngopi serta ngobrol hangat dengan anak-anak kedua desa dengan kondisi aman dan nyaman.