Masyarakat Penggila Ikan

Penulis: Adang Chumaidi, 02 November 2022
image
Ikan bakar Bobara

Waktu makan merupakan waktu yang kubenci di setiap harinya. Bukan karena hidangan yang kita makan, bukan karena tempat makan yang kurang nyaman, bukan pula anak-anak kecil yang lari sana sini di dalam rumah, Bukan! Melainkan cerita tuan rumah (setiap tuan rumah yang kami kunjungi) yang membahas makanan di Batu Atas hanya ada ikan, sayurnya ya ikan, lauknya ya ikan. Kemudian dilanjutkan dengan membandingkan makanan di daratan atau di kota yang kita dapat memilih suka hati, entah ayam, sayuran, bahkan mie instan yang beraneka rasa. Untuk kesan pertama ya wajar. Mungkin tuan rumah hendak memaparkan keadaan di desa. Tapi obrolan tersebut berlangsung selama 3 bulan. Bayangkan di setiap makan kita membahas keluh kesah yang sama dibalut dengan rasa iri terhadap pulau tetangga. Dan anehnya ketika sayur, ayam, tahu dan tempe telah dihidangkan, tuan rumah malah berkeluh kesah tidak ada ikan. “lah maunya apa?”. Dari pengalaman tersebut, Tanya sana sini tentang makanan, bahkan sampai bertanya tentang rasa di setiap jenis ikan yang dibakar. Bisa kusimpulkan mayoritas masyarakat desa adalah “Penggila Ikan”

Mengikuti porsi makan warga desa merupakan tantangan besar bagi kami. Ditambah lagi rasa segan dari masing-masing pihak. Kita segan karena tidak makan sebanyak tuan rumah makan (takutnya beliau berfikir makanan tidak enak) dan rasa segan tuan rumah untuk menunjukkan porsi makannya (takutnya tidak sopan terhadap kami). Hal kocak tersebut berjalan selama 2 bulan dan kita baru bisa ngobrol nyaman kepada orang tua angkat kita di bulan ke 3 (karena sudah akrab dan tau kebiasaan dirumah). Jadi selama 2 bulan tuan rumah tidak bisa makan dengan kenyang selayaknya beliau makan dan kami kekenyangan setiap makanan kita tambah. Sungguh hal lucu yang kami obrolkan di gode-gode (lincak dalam bahasa jawa) depan rumah.

Selama 3 bulan kita tinggal didesa, kita masih focus tentang survey kebutuhan listrik, identifikasi masalah ekonomi yang di situ-situ saja, sosial yang penuh dengan kata “keluarga” dan “sepupu” di setiap obrolannya, budaya yang masih kental dengan pembahasan batu keramat di katoba mambulu (batu di puncak pulau) bahkan panasnya politik sepanas udara batu atas dibulan ke-4. Banyak kita temu kebiasaan, budaya dan acara kemasyarakatan yang unik. Anak-anak yang bekeliaran tanpa memakai baju dengan tujuan agar nanti anak menjadi pribadi yang kuat, budaya mengangkat seperangkat alat tidur (kasur, bantal, dipan dll) dan diarak ke rumah perempuan ketika menjelang pernikahan, kebiasaan anak muda joget disetiap speaker bluetooth di hidupkan, sampai porsi makan warga desa yang luar biasa banyak (setidaknya di pandangan kita). Tapi disisi lain budaya dan kekeluargaan di desa kita akui sangat lah kuat dan masih berjalan dengan baik. Budaya orang tua melarang anak perempuan atau laki-laki jalan bersama, kerajinan menenun untuk acara adat, gotong royong masyarakat ketika akan diadakannya acara pernikahan, baruga ataupun acara desa lainnya.