Sampah di pulau seluas 12 Km persegi

Penulis: Alhaitamy, 29 September 2022
image
sampah batuatas Barat

Semakin lama menjalani proses live-in di Desa, semakin terlihat ketidakseimbangan yang terjadi didalamnya. Semakin lama berinteraksi semakin kuat pula keresahan-keresahan yang terjadi dimasyarakat, namun keresahan-keresahan itu tidak kunjung mendapatkan solusi konkret di dalamanya. Permasalahan itu adalah sampah.


Sampah sudah menjadi masalah global, begitu juga masyarakat batuatas yang merupakan penduduk pulau terluar semakin merasakan dampak-dampaknya. Ketergantungan masyarakat terhadap simpelnya kemasan-kemasan pelastik selama bertahun-tahun membuat masyarakat desa batuatas sulit untuk beralih ke kemasan-kemasan ramah lingkungani, selain karena keawetan kemasan juga semakin banyaknya variasi produk-produk yang dikemas di dalamnya. Hampir tidak ada produk luar yang masuk kedalam pulau selain dikemas di dalam kantong-kantong pelastik.


Dibalik ketergantungan yang sangat besar tehadap plastik ini tidak berimbang dengan sistem pengolalan sampah yang mumpuni. Masyarakat tidak memiliki lokasi pengumpulan sampah dikarenakan keterbatasan jumlah lahan sehingga harus merelakan sampah-sampah dibuang ke jurang-jurang.


Sekedar informasi bahwa jurang-jurang ini disebut oleh masyarakat lokal sebaga “Topa”, toapa ini dahulunya merupakan lokasis penyimpanan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat dikala musim kemarau menghadang. Masyarakat dahulu melakukan aktivitas mandi dan mencuci didalamnya, bahkan tempat anak-anak berlatih berenang sebelum di izinkan oleh orangtua mereka untuk berenang di laut.

Keseruan aktivitas masyarakat desa selang beberapa tahun telah banyak berubah, topa-topa itu telah di kotori oleh sampah, sehingga kandungan air didalamnya tak layak lagi untuk digunakan bahkan untuk sekedar tempat berenangnya anak-anak. Bayak topa yang telah penuh oleh sampah, bahkan ada beberapa topa yang kedalamannya mencapai belasan meter kebawah kini telah rata oleh sampah, Sehingga telah dijadikan jalan dan rumah oleh beberapa masyarakat.


Beberapa masyarakat yang memiliki kesadara yang kurang memilih membuang sampahnya ke laut, bahkan saat ini dermaga dan bibir pantai di pulau batuatas telah dicemari oleh sampah pelastik ini. Kondisi seperti ini diperburuk ketika musim angin barat menerjang pulau, sehingga sampah-sampah yang dibuang kelaut malah memenuhi bibir pantai dan bahkan dermaga kapal laut milik masyarakat di penuhi oleh sampah.


Pencemaran-pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat semakin masif, bahkan merupakan hal yang lumrah terjadi. Pencemaran ini tentunya menjadi bom waktu yang akan meledak dalam waktu dekat. Dampak-dampak dari sampah kini mulai terasa dimana kurangnya hasil tangkapan ikan disekitar pulau dan terjadi pula beberapa wabah penyakit seperti Diare.


Menghentikan proses masuknya produk-produk berkemasan pelastik merupakan salah satu langkah jitu, tetapi masyarakat tidak siap dikarenakan ketergantungan yang begitu besar terhadap produk luar tersebut. Mengevakuasi sampah keluar pulau untuk di buang ke pusat pembuangan sampah sehingga suatu saat nanti dapat didaur ulang bisa saja menjadi solusi, tetapi pihak-pihak terkait tidak bisa menyanggupi dikarenakan begitu besarnya biaya evakuasi sampah tersebut.


Masyarakat desa merindukan keadaan desa tempo dahulu yang jauh dari sampah, Generasi kedepan memiliki hak untuk merasakan sejuknya air topa, Pulau yang dulu sangat asri tak lagi indah untuk dipadang. dan Potensi wisata mungkin saja hanya angan-angan. Bila pencemaran ini tak segera dihentikan.