Kalibrasi Rasa Syukur

Penulis: Fadilatul Uswah, 24 September 2022
image
Anak-anak hebat di kampung Sawi

Kampung Sawi adalah tempat saya live in selama masa penugasan Patriot Energi ini. Di kampung Sawi sendiri terdapat pembangunan APDAL/SPEL tahun 2021, yang mana sebelum survei awal, APDAL bahkan sudah dibagikan di masyarakat dan IRAS sudah terpasang di masing-masing rumah warga di Wetuf.

Kampung Sawi merupakan kampung yang jika ingin menuju kesana harus masuk ke dalam kali agar bisa sampai ke kampung. Kampung ini terdiri atas dua RT yaitu RT 1 Wetuf tempat saya live in dan RT 2 Dignofa, yang berdasarkan isu yang beredar di masyarakat RT 2 ini akan dimekarkan menjadi kampung sendiri yang terpisah dari Sawi.

Seperti yang saya sampaikan di cerita sebelumnya bahwa penamaan kampung Sawi ini bukan karena terdapat banyak sayur Sawi yang tumbuh. Di dekat pemukiman warga sayur yang bisa dipetik langsung hanya sayur genjer dan sayur kangkung, itupun dalam jumlah yang terbatas, karena tempat tumbuh sayur tersebut hanya di depan sekolah dan di kali atas. Hampir semua masyarakat jika ingin mencari sayur mencarinya di sekolah atau kali sehingga tentu jumlahnya akan sangat terbatas jika harus dibagikan dengan semua warga kampung. Kondisi tanah yang tidak mendukung untuk menanam sayur di pekarangan membuat warga terpaksa menanam sayur di kebun yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman, sehingga tentunya hal ini menyebabkan sayur menjadi sesuatu yang tidak bisa di konsumsi setiap hari.

Untuk ikan, kepiting dan udang walaupun jumlahnya sangat melimpah tetapi masyarakat terkendala di bahan bakar jika harus menjaring. Sehingga jika akan menjaring biasanya bermalam di rumah berlabuh sampai lima hari. Rumah berlabuh adalah pondokan kecil yang dibangun di tengah muara untuk tempat beristirahat di malam hari, jika sedang menjaring.

Karena kondisi yang sulit tersebut di kampung semua hampir semua masyarakat sudah terbiasa makan nasi atau papeda kosong. Nasi kosong itu maksudnya benar-benar hanya makan nasi tanpa lauk apapun,jika ada teh biasanya makan nasi putih dengan teh yang sangat manis. Tapi jika tidak ada ya hanya papeda kosong atau pisang bakar.

Di awal live in pertama kali saya benar-benar kaget melihat anak-anak di kampung yang semuanya benar-benar sangat mandiri. Anak SD yang dari Dignofa di hari Minggu atau Senin pagi berjalan kaki atau naik perahu ke Wetuf untuk bersekolah dan menginap di rumah temannya atau di rumah guru yang kosong. Jika ingin makan harus mencari sayur dulu, lalu memasak baru bisa makan. Jika bahan makanan habis mereka harus kembali ke Dignofa dulu untuk mengambil persediaan bahan makananseperti pisang atau sagu dan kembali lagi.

Melihat langsung situasi masyarakat di kampung dan anak-anak SD yang masih sangat kecil sudah harus bisa mandiri dan terpisah jauh dari orang tua, seperti tamparan keras bagi saya. Anak-anak sekecil itu sudah harus berjuang demi bisa merasakan nikmatnya mengenyam pendidikan. Betapa dari hal ini saya pribadi benar-benar harus mengkalibrasi rasa syukur kembali. Anak-anak sekecil itu saja tidak pernah mengeluh jika sudah harus jauh dari orang tua, memasak sendiri mencari bahan makanan sendiri dan melakukan semuanya sendiri. Jika hidup dirasa sangat sulit mungkin sesekali kita harus melihat dari sudut pandang yang berbeda bahwa ternyata masih banyak orang yang hidupnya jauuuhhh lebih sulit daripada kita tapi mereka tidak pernah mengeluh atau berputus asa, tetap menjalani hari-hari seperti dengan riang seperti biasanya.