PLTA Mamberamo, untuk siapa? (Part 4 & 5)

Penulis: Billy Yansa Latief Imama, 16 September 2022
image
Suaka Margasatwa Mamberamo - Foja

Part 4; Terancamnya Alam dan Ekosistemnya 

Kawasan Mamberamo adalah satu dari kawasan hutan tropis yang masih utuh dan memiliki keanekaragaman hayati asli atau endemisitas tinggi. Kawasan ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar di Papua dengan luas hingga 7,8 juta ha atau hampir seluas Pulau Jawa [1]. Sepanjang kawasan DAS ini pula terdapat Suaka Margasatwa Mamberamo – Foja yang merupakan suaka margasatwa terbesar di Indonesia dengan luas hingga 2,02 juta ha [10]. Saking luasnya, Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Mamberamo – Foja ini terbagi pada 10 kabupten dengan lokasi 70% dari total luas berada di Kabupaten Mamberamo Raya. Penetapan kawasan suaka margasatwa ini berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor; 782/Kpts/Um/10/1982 dan 820/Kpts/Um/11/1982. Alasan penetapan kawasan karena didalamnya terdapat 5 ekosistem, 40 tipe vegetasi, dan 785 spesies satwa endemik.

Kekayaan-Flora-di-SM-Mamberamo-Foja

Kekayaan Fauna Suaka Margasatwa Mamberamo - Foja

Statusnya sebagai suaka margasatwa ternyata tidak menjamin kawasan konservasi ini aman dari segala kegiatan yang merusak lingkungan. Kajian yang dilakukan oleh tim Unipa, menyatakan dalam kurun waktu 27 tahun antara 1990 – 2017, SM Mamberamo – Foja mengalami deforestasi seluas 34.382 ha dan degradasi hutan seluas 73.307 ha [11]. Kerusakan hutan ini karena adanya kegiatan penambangan, logging, dan pemekaran wilayah pemukiman penduduk dan pemerintahan. Yang lebih gila lagi pada tahun 2011, PT Rinjani Indonesia mendapatkan IUP (Izin Usaha Pertambangan) melalui keputusan Bupati Mamberamo Raya No. 009 tahun 2011 dengan luas wilayah eksplorasi batubara hingga 45.380 ha [12]. Setidaknya ada 80% dari total luas wilayah ekplorasi batubara yang masuk dalam kawasan suaka margasatwa. Jika rencana pembangunan PLTA dan KEK Mamberamo menjadi kenyataan maka ekosistem yang ada di kawasan suaka margasatwa ini dipastikan semakin terancam.

Peta-Geologi-IUP-Eksplorasi-PT-Rinjani-Indonesia

Peta Geologi Lokasi IUP Batubara

PLTA termasuk sumber energi hijau atau energi baru terbarukan yang dinilai lebih ramah lingkungan dan rendah emisi. Walau begitu tetap saja ada dampak lingkungan yang akan timbul dari pembangunan PLTA dalam skala besar, setidaknya terdapat lima dampak terhadap lingkungan yang tentunya akan berimbas pula kepada manusia lokal yang mendiaminya;

  1. Pelepasan Emisi Gas Rumah Kaca; Sungai Mamberamo berpotensi memiliki kandungan karbon dalam jumlah yang besar akibat proses pembusukan pohon dan tanaman selama waktu yang sangat lama. Pohon dan tanaman yang membusuk di dasar sungai akan menghasilkan timbunan metana (gas rawa). Saat air bendungan dialirkan ke turbin, gas metana ini akan terlepas ke atmosfer.
  2. Perubahan Debit Air; Pasang surut air atau variasi debit sepanjang tahun merupakan fenomena alami dan umum terjadi sepanjang DAS. Fenomena ini memungkinkan kelangsungan hidup untuk berbagai organisme dan vegetasi baik di hulu (upstream) hingga hilir (downstream) sungai. Saat PLTA beroperasi debit air sungai akan berubah sesuai dengan pengaturan yang diinginkan manusia, bukan secara alami lagi. Hal ini tentu akan mengganggu ekosistem yang sudah ada.
  3. Perubahan Suhu Air; Umumnya air yang digunakan untuk memutar turbin pada PLTA berasal dari bagian bawah bendungan yang memiliki suhu relatif lebih dingin dan konstan. Perubahan suhu air yang awalnya bervariasi sesuai dengan musim akan menjadi konstan, sehingga berpotensi merubah ekosistem sungai khususnya di bagian hilir.
  4. Perubahan Komposisi Air; Air yang sudah dilepas dari bendungan ke bagian downstream cenderung memiliki kandungan garam terlarut lebih tinggi dan kandungan oksigen lebih rendah dibandingkan dengan komposisi air di sungai tanpa bendungan.
  5. Erosi dan sedimentasi; Bendungan akan menahan laju sedimen yang datang dari sungai upstream. Hal ini membuat air yang dilepaskan dari bendungan ke sungai downstream mengandung sedimen yang sangat rendah, sehingga daerah hilir akan mengalami erosi tanpa adanya material sedimen pengganti. Hal ini juga akan membuat memperparah proses abrasi di bagian hilir sungai dan pantai.

Part 5; Harmonisasi Manusia dan Alam

Penelitian yang dilakukan oleh CI (Conservation International), Cifor (Center for International Forestry Research), dan CIRAD (Centre de coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement) pada tahun 2010 hingga 2012 menunjukan masyarakat lokal memiliki pandangan sendiri akan penggunaan lahan mereka untuk masa kini dan masa depan [13]. Lokasi kegiatan penelitian adalah enam desa di dalam wilayah Kabupaten Mamberamo Raya dengan kondisi ekosistem yang berbeda. Pendekatan tentang Penilaian Lanskap secara Multidisipliner (MLA) yang dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif di enam desa dapat mengakomodir hal apa saja yang menjadi prioritas masyarakat lokal yang tinggal di wilayah tersebut [14]. Masyarakat di keenam desa memiliki pandangan yang cukup beragam mengenai hutan dan sumber daya alam termasuk dinamika hasil hutan yang penting untuk mata pencaharian mereka. Namun, demikian seluruh masyarakat di keenam desa memiliki pandangan yang sama bahwa hutan dan ekosistemnya adalah penting bagi kehidupan mereka.

DSCF0096

Ikan di Pasar Kampung Bagusa

Kehidupan masyarakat lokal yang tinggal di Kabupaten Mamberamo Raya masih sangat bergantung pada alam; hutan, sungai, danau, hingga rawa. Ketergantungan ini meliputi kebutuhan akan makanan, obat-obatan, kontruksi rumah, transportasi, tempat berburu, kayu bakar, rekreasi, hingga masa depan yang terbagi pada tipe lahan; hutan, telaga, gunung, sungai, rawa, kebun hingga bekas kampung. Terkait adanya PLTA ini tentu akan menjadi ancaman bagi masyarakat lokal, hal ini ditunjukan bahwa lanskap telaga, sungai, dan sungai kecil memiliki nilai kepentingan tertinggi guna mencukupi sumber makanan. Hasil penilaian masyarakat menyebutkan ketiga lanskap tersebut mempunyai nilai kepentingan hingga 32,3% dari total sebelas lanskap yang dinilai [14].

Harmonisasi antara masyarakat adat lokal dengan alam sudah terjalin dari ratusan hingga ribuan tahun yang lalu bahkan sampai saat ini. Ini terbukti dari cara masyarakat menilai bahwa bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan tanah longsor bukan lah suatu ancaman yang serius bagi mereka. Justru kegiataan semacam pembalakan, penambangan, dan pemburuan satwa secara besar-besaran merupakan ancaman bagi mereka. Kecemasan bahwa suatu saat ada perusahaan datang dan merusak sumber-sumber mineral dan hutan terutama di kawasan mereka sangatlah kuat, ini terjadi setelah beberapa masyarakat melihat secara langsung dampaknya di berbagai tempat lain.