Badai

Penulis: Fadilatul Uswah, 16 August 2022
image
Sebelum badai


Pada bulan Januari setelah penentuan desa live in, saya, rekan setim patriot dan koordinator menuju ke desa live in. Pagi hari sebelum keberangkatan Pak desa menelpon dan menyampaikan bahwa akan berangkat menuju desa setelah nanti Pak desa telepon. Sekitar pukul 8 saya ditelepon oleh Pak desa, dan memutuskan untuk langsung menuju ke rumah Pak desa. Setibanya disana ternyata Pak desa tidak ada di rumah, sedang keluar, jadilah saya menunggu di rumah beliau dengan Mama Desa.

Di siang hari tiba-tiba hujan deras disertai angin, Mama yang menemani saya mengatakan kemungkinan jadwal ke desa ditunda karena badai, tetapi di sore hari cuaca kembali teduh, akhirnya kami berangkat ke desa sekitar pukul 4.

Awalnya cuaca menuju ke desa teduh, tidak panas karena berangkat di sore hari. Di perjalanan saya tertidur karena lelah menunggu seharian untuk menuju ke desa. Tidak lama setelah itu, tiba-tiba Pak Desa berteriak.

"Dilaa, jangan tidur"

Iya pak?

"Jangan tidur"

Setelah mendengar itu ketika saya mulai sepenuhnya sadar ternyata cuaca di sekeliling mulai gelap. Hujan gerimis mulai turun. Awan hitam benar-benar terpampang nyata di depan mata. Rute yang biasanya jika menuju ke desa pasti akan melihat gunung disekitar laut, semuanya sudah tertutup oleh awan. Semakin maju ke depan angin semakin kencang, hujan semakin lebat, pandangan disekeliling sudah tidak terlihat, dan ombak juga semakin tinggi yang mengangkat perahu.

Berada di momen ini membuat saya menjadi khawatir, terlebih melihat para penumpang yang lain terutama Mama-mama sudah menangis diatas perahu dan meminta Pak desa untuk putar balik. Tapi Pak desa sama sekali tidak menggubris permintaan tersebut. Saya sempat berbalik ke belakang kemudian Pak desa berteriak. "Dila ko takut kah?" Sambil tertawa.

Waktu itu saya ingin berteriak ke belakang, "Pak putar balik tolong". Bagaimana tidak takut kami sedang sedang berada di tengah laut, semua penumpang tidak ada yang menggunakan pelampung dan waktu itu di perahu hanya ada tiga orang yang tidak bisa berenang yaitu saya, dan dua anak Pak desa yang masih kecil.

Semakin ke depan badai semakin besar, Pak desa memutuskan untuk mengarahkan perahu ke samping yang dekat gunung agar tidak tersesat karena awan yang menutupi pandangan. Beberapa jam kemudian setelah berada di dekat pelabuhan Tanggaromi arah menuju ke Teluk Arguni, angin sudah sedikit lebih teduh dibandingkan sebelumnya ketika masih berada di laut lepas. 

Perjalanan yang normalnya di tempuh 3-4 jam waktu itu ditempuh selama kurang lebih 6-7 jam. Kami sampai di desa di malam hari dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan.