Desember; Realistis atau Idealis?

Penulis: Billy Yansa Latief Imama, 15 July 2022
image
Bakar Batu Perayaan Natal 2021

Pertengahan Desember 2021 kami masih di Kasonaweja, Distrik Mamberamo Tengah, Kabupaten Mamberamo Raya dengan suasana Natal penuh damai walau rasa "was-was" tetap terasa. Natal tahun 2021 memang menjadi pengalaman tak terlupakan, terlepas dari fakta minoritasnya saya saat itu. Selain Natal, Desember menjadi hal yang membuat kami harus cukup "waspada" terutama di minggu awal bulan itu. Sejak sebelum berangkat menuju penugasan memang kami sudah di peringatkan oleh berbagai pihak agar berada di ibu kota kabupaten saat minggu awal Desember. Hal ini agar menghindari adanya kemungkinan terjadinya gangguan keamanan saat adanya momen memperingati tanggal 1 Desember.

Penat dengan segala keruwetan dan amburadulnya Mamberamo, kabar itu pun datang. Kabar perihal rencana kami untuk dipindahkan lokasi penugasan. Akibat tidak kunjung mendapat solusi atas masalah yang kami hadapi. Jujur perasaan dalam diri serasa permen nano-nano, rame rasanya! Ada bahagia, sedih, malu, bimbang, dan penyesalan. Tidak hanya saya, kala itu semua kawan satu tim penugasan pun merasakan hal serupa. Datang dengan penuh semangat dan harapan walau penuh akan ketidak pastian hingga akhirnya berpisah dengan hati yang dipaksa untuk realistis akan keadaan dan realita yang sangat dinamis di lapangan. Sisa materi pelatihan tentang keiklasan, kejuangan, dan kerakyatan rupanya sulit bagi kami untuk terapkan.

Sore itu hujan gerimis tidak kunjung reda, bersamaan adanya undangan untuk mengikuti perayaan Natal bersama yang diadakan oleh pemda. Hujan menyurutkan niat teman-teman untuk datang, akhirnya saya dan Patriot Lazarus yang memutuskan untuk tetap berangkat. Bersama bapak kepala distrik dan keluarga beliau kami berangkat dari Kasonaweja menuju Burmeso. Acara dilakukan di halaman Dinas PUPR. Perayaan Natal bersama dimulai dengan prosesi bakar batu, ibadah, sambutan, hiburan, dan makan bersama. Malam penuh nikmat diselimuti jiwa kekeluargaan antar warga serta toleransi karena dihadiri oleh warga yang beragama muslim dan juga warga pendatang. Malam itu pula terlintas harapan agar pemimpin baru di Kabupaten Mamberamo Raya dapat mempercepat pembangunan.

Esoknya kami berkumpul untuk membahas rencana pemindahan kabupaten lokasi penugasan. Kami duduk melingkar, saling berdiskusi dan saling tatap mata. Pembahasan serta topik utama adalah “harus kah pindah atau tidak?”. Hampir dua bulan kami berada di kabupaten ini, sudah terlalu banyak pula cerita yang kami dengar. Cerita tentang keluh kesah masyarakat tentang ketidakberdayaan, ketidakadilan, kekecewaan, dan sedikitnya tentang harapan. Berat melepaskan kabupaten yang sebenarnya sangat membutuhkan sosok patriot sejati. Ingin rasanya benar-benar membantu teman-teman masyarakat di Mamberamo Raya, namun apa daya kondisi benar benar memaksa kami untuk sadar diri. Akhirnya hasil musyawarah bersama memutuskan kami untuk berpindah kabupaten, karena sulitnya akses transportasi serta mahalnya harga BBM, dan kondisi keamanan yang tidak stabil.

Seperti lirik lagu favorit saya dari band rock indie asal jogja Festivalist; “berjalan tak sesuai rencana adalah jalan yang sudah biasa, jalan satu-satunya jalani sebaik kamu bisa”. Lagu dengan judul “Gas” tersebut juga sudah menemani langkah saya beberapa tahun terakhir ini, serta menjadi pengingat ketika terlalu idealis. Oke see yaa! di kabupaten baru kami; Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua. Yapen? Ya kali ga Prennn.