Kaso-Meso: Jantung kota Mamberamo

Penulis: Wahyuningsih, 15 July 2022
image
Suasana Pasar Kasonaweja

Setelah kita menyusuri nadi Mamberamo Raya, sampailah kita di jantung kota Mamberamo Raya, yaitu Kasonaweja dan Burmeso, masyarakat menyebutnya Kaso-Meso. Dua kota ini dibatasi oleh sungai Mamberamo. Masyarakat harus menggunakan speed boat untuk menyebrang dari Kaso ke Meso dan sebaliknya. Kasonaweja merupakan pusat perekonomian dimana penduduk banyak bermukim dan melakukan kegiatan ekonomi. Sedangkan Burmeso merupakan ibu kota Mamberamo Raya, yaitu pusat Pemerintahan dimana sebagian besar wilayah adalah kompleks gedung Pemerintah Daerah dan rumah-rumah dinas. Sebelumnya pusat pemerintahan berada di Kasonaweja, namun karena wilayah Kasonaweja masuk ke dalam hutan lindung, maka pusat pemerintahan dipindah ke Burmeso.

 

Kaso-Meso adalah sebuah kota yang sangat kecil. Karena Mamberamo Raya merupakan Kabupaten pemekaran yang belum lama terbentuk, maka pembangunan dan perkembangan kota Kaso-Meso tidaklah seperti kota-kota lainnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Seperti beberapa wilayah di Papua lainnya, mencoba merunut faktor-faktor yang melatarbelakangi sulitnya kota ini untuk berkembang, adalah seperti mengurai benang yang kusut, terlalu banyak dan rumit. Mulai dari akses yang tidak mudah dijangkau; kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat; hingga kondisi tata kelola pemerintahan yang buruk.

 

Secara akses, sudah jelas tidak adanya jalur transportasi darat menuju Kaso-Meso menyebabkan sulit dan mahalnya biaya distribusi barang maupun jasa. Hal ini menyebabkan tingginya harga bahan-bahan di sana. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Kaso-Meso merupakan warga pendatang dari daerah lain dan suku asli Mamberamo yang berasal dari kampung-kampung terpencil dari distrik-distrik yang masih terisolasi. Sebagian besar perniagaan di Kaso-Meso di kuasai oleh pendatang, sedangkan masyarakat lokal sendiri hanya berjualan pinang, ikan dan sayur atau hasil kebun yang tidak seberapa.

 

Dalam hal pembangunan, sebagaimana daerah Papua yang lainnya, kota ini memiliki tantangan tersendiri yang tidak mudah untuk diselesaikan. Pertama, masyarakat yang sudah nyaman dengan cara hidupnya selama ini, tidak mudah untuk diedukasi tentang hal-hal baru. Bahkan, masyarakat selalu meminta imbalan uang yang tidak sedikit untuk setiap pembangunan yang dilakukan meskipun untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini juga mungkin bisa dipahami dari latar belakang mereka yang sulit percaya kepada Pemerintah. Yang kedua, meskipun memiliki sumber daya alam yang melimpah, tidak ada teknologi yang diadopsi untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang ada, hal ini kembali ke poin pertama, yaitu keengganan masyarakat menyerap ilmu-ilmu atau skill baru karena sudah nyaman dengan cara bertahan hidup yang selama ini dijalani. Hal ini berpengaruh juga terhadap perkembangan sumber daya manusia yang ada, dimana mereka masih tertinggal dalam hal pendidikan. 

 

Dalam bidang pendidikan, ada satu kondisi yang menjadi penghambat yang dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat, yaitu kondisi dimana masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari berkebun dan berburu (semi nomanden). Masyarakat biasanya membuka kebun di tempat yang jauh dari rumah, mencari tanah yang masih bagus untuk ditanam. Jauhnya jarak dari rumah ke kebun, menyebabkan sebuah keluarga (bersama anak-anaknya) akhirnya membuat rumah singgah dan tinggal di sana selama berkebun. Tidak dapat dipungkiri, pada akhirnya urusan perut masih menjadi prioritas utama dibandingkan dengan pendidikan anak mereka. Karena kondisi yang demikian, banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati pendidikan dengan maksimal, sehingga banyak yang masih belum lancar membaca, menulis, dan berhitung meskipun mereka sudah duduk di kelas 6 SD.

 

Hal hal yang disebutkan diatas hanyalah sebagian dari banyaknya tantangan yang harus diperhatikan, termasuk tata kelola pemerintahan daerah yang masih carut marut. Namun, sepelik apapun masalah yang ada, kota kecil ini menyimpan banyak harapan. Setiap orang ingin memiliki kehidupan yang layak, dan seperti apa itu kehidupan yang layak? Mungkin cara kita tidaklah sama dengan cara mereka, dan mungkin sesungguhnya, cara mereka lebih arif dari cara kita memaknai bagaimana itu hidup yang layak.