Ternyata Susah Jadi Guru Sekolah Minggu

Penulis: Angelina Yosephine, 14 July 2022
image
Anak-anak sekolah minggu

Sudah hampir 6 bulan aku berada di desa ini. Pada awalnya aku tidak dekat dengan anak-anak, karena mereka lebih paham dengan Bahasa Dayak Tamambaloh dan aku cukup sulit untuk bermain dan mengajar mereka. Yang akhirnya aku meminta tolong dengan adik angkatku untuk menerjemahkan Bahasa Indonesia ke bahasa mereka. Aku mengira-ngira apa jadinya kunjunganku dengan keterbatasanku yang seperti ini untuk berkomunikasi. Tapi ternyata, anak-anak suka dengan perubahan cara belajar sekolah minggu yang aku bawakan. Aku hanya membawa sebuah handphone dan loudspeaker kecil, untuk mengajarkan mereka nyanyian sekolah minggu yang aku ketahui.

Setiap minggu pagi pukul 06.00 WIB, lonceng gereja dibunyikan oleh Ibu Endang Guru Sekolah Minggu disini, yang menandakan adanya sembahyang di gereja. Pukul 08.00 WIB adalah jam masuknya anak sekolah minggu. Kami bermain dan belajar tentang Alkitab dan Agama Katolik selama 1 jam saja. Karena pada pukul 09.00 WIB adalah jam untuk sembahyang orang dewasa. Biasanya sembahyang dibawakan oleh pemimpin umat, karena tidak adanya Pastor yang menetap. Satu kali 2 bulan Pastor memimpin sembahyang disini serta pada hari-hari besar seperti Paskah dan Natal. Kebetulan Bapak Kepala Desa disini adalah lulusan dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan. Jadi apabila Pak Kepala Desa sedang berada di desa, maka ia selalu menjadi pemimpin umat.

Di tengah-tengah interaksiku dengan masyarakat disini, aku masih terus berusaha mencari orang-orang yang bisa menerima dan ikut serta dalam menjalankan menjadi Guru Sekolah Minggu. Tuhan selalu punya rencana yang baik untuk kita yang selalu punya niat baik. Semoga saja, sebelum aku kembali darisini, anak-anak disini semakin mencintai sekolah minggu dan akan ada penerus untuk menjadi guru sekolah minggu.