Teknologi Tepat Guna dalam Masyarakat Adat Auyu di Samurukie

Penulis: Alvin Putra Sisdwinugraha, 17 June 2022
image
Kapak batu masyarakat adat Samurukie

Masyarakat Auyu adalah suku bangsa yang menempati Kabupaten Mappi. Suku Auyu yang menempati daerah Passue Bawah adalah Suku Auyu Haku dan Missa, yang wilayahnya membentang meliputi kampung Gauda, Busiri, dan Samurukie. Leluhur mereka bertolak dari timur ke arah kepala kali Binu, lanjut ke kali Haku, dan menempati Yehundakai (tanah lapang). Di sana lah mereka akhirnya mengembangkan peradaban mereka hingga sekarang masuk ke zaman modern. Hutan, rawa, dan kali telah menjadi ibu yang menghidupi mereka, yang memberi mereka makanan dan minuman. Penghormatan masyarakat Auyu terhadap hutan yang menghidupi mereka dijewantahkan dalam bentuk aturan dan larangan dalam hal mengelola hasil sumber daya alam.

Sebagai masyarakat berburu dan meramu, secara turun temurun mereka telah menguasai alam hutan rawa kali Passue. Pengetahuan ini diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan dalam pembicaraan mereka di dalam bevak saat mereka berburu dalam hutan. Walaupun banyak masyarakat yang telah mengalami disrupsi cara hidup, sisa-sisa kearifan lokal tersebut masih dapat dilihat hingga sampai hari ini. Dalam membantu kehidupan mereka sehari-hari, masyarakat mengenal teknologi dan peralatan tradisional yang tepat guna.


Berburu dan Berhutan

Untuk membantu mereka mencari makanan, mereka mengenal sangkau, linggis tradisional orang Auyu. Alat ini dibuat dari pohon enau dan gelagar nibung. Biasanya dipakai untuk menggali cacing atau ulat sagu, dan bisa juga dipakai untuk menebang pohon sagu serta memotong pelepah-pelepah sagu. Mereka juga mengenal kampak batu, yang biasa digunakan untuk menebang pohon. Batu kampak diasah, lalu ditancapkan ke gagang kayu.

Dalam memenuhi kebutuhan makanannya, masyarakat Auyu berburu hewan di hutan, seperti babi hutan, rusa, kasuari, dan saham (kanguru kecil). Dalam berburu pun mereka menggunakan beberapa alat bantu. Busur panah dan tombak biasanya dipakai untuk berburu binatang. Untuk memotong hewan hasil buruan, digunakan pisau terbuat dari buluh bambu, maupun dari tulang kasuari. Ketika hasil hewan buruan sudah didapatkan, digunakan yagi: pucuk sagu yang dibuat menjadi bungkusan untuk membungkus daging hewan hasil buruan. Saat ini, yagi juga digunakan untuk membungkus kayu gaharu maupun kayu bakar.Untuk menangkap ikan, digunakan bubu yaitu alat penangkap ikan yang dibuat dari bambu. Duri rotan dipasang di lingkaran dalam, dan diletakan sesuai dengan arah pasang surut air rawa, sehingga ikan tidak bisa keluar akibat terjebak duri rotan.

 

Dalam berhutan, masyarakat zaman mengayu cukup rentan akan serangan dari suku, keluarga, atau kelompok lain. Dalam melindungi diri dari serangan musuh, mereka biasa membuat tombak dan khobi (salawaku/tameng) dari kayu. Selain untuk melindungi diri, pola-pola dari tombak dan khobi juga menentukan identitas keluarga maupun status dari pemilik.

 

Perempuan dan Teknologi

Tak hanya laki-laki, perempuan juga memiliki teknologi tepat guna yang juga diturunkan dari generasi ke generasi. Sebagai penunjang kehidupan rumah tangga utama, perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan sagu sebagai bahan makanan utama masyarakat Papua secara umum. Tepung sagu didapatkan dari pohon sagu yang ditebang, lalu dibuka hingga didapatkan daging kayunya, dan dipukul-pukul (dipangkur) hingga mendapatkan ampas sagu. Kemampuan memangkur sagu ini secara khusus dimiliki oleh perempuan. Dalam proses ini, digunakan yefuko, yaitu alat pemangkur sagu dari kayu yang dibentuk segitiga dengan tali rotan. Untuk membawa hasil sagu tersebut, digunakan matu, yaitu bakul dipakai oleh ibu-ibu untuk mengisi makanan seperti sagu, bisa juga kayu bakar.


Salah satu kemampuan unik yang dimiliki perempuan lainnya adalah membuat kamu atau men/noken, tas rajutan yang menjadi ciri khas orang Papua. Kamu biasanya dibuat dari kulit kayu, baik dari pohon gaharu, gnemo, ataupun durian hutan. Kulit kayu ini dibelah kecil-kecil, lalu dipintal dengan menggulungnya di bagian paha/kaki dengan menggunakan tangan. Kulit kayu yang awalnya ringkih dibuat menjadi benang yang kuat. Masing-masing bahan memberikan karakteristik tas yang berbeda: kayu gaharu memberikan warna coklat terang dengan bahan yang lentur, kayu gnemo memberikan warna coklat agak kekuning-kuningan dengan tekstur yang lebih kasar, sedangkan durian hutan memberikan warna coklat gelap kemerah-merahan. Pola rajutan yang digunakan juga berbeda-beda, dan tiap keluarga/marga berbeda-beda; kerap kali pola rajutan ini dapat dianggap sebagai ‘tanda tangan’, karena masing-masing orang pun memiliki perbedaan juga. Bahan-bahan yang digunakan juga dapat dicampur untuk menghasilkan pola tertentu, yang juga berbeda-beda tiap keluarga/marga. Sebagai hiasan, dapat digunakan pewarna dari getah pohon, ataupun dihias menggunakan biji-bijian maupun bulu kasuari.

 

Disrupsi Teknologi untuk Masyarakat Samurukie

Saat ini, beberapa teknologi tersebut telah ditinggalkan. Selain karena masalah efisiensi, kedatangan para pendatang di tanah mereka membawa pengetahuan dan cara hidup yang baru. Mereka telah mengenal bercocok tanam, serta alat-alat bantu seperti cangkul dan sekop. Beberapa teknologi juga tergantikan akibat masalah efisiensi, seperti kapak batu yang digantikan kapak besi, serta pisau yang digantikan parang besi.

Disrupsi ini juga mengubah cara hidup masyarakat. Alat transportasi tradisional mereka ialah perahu dayung yang terbuat dari kayu sagu. Perahu dan dayungnya dahulu dibuat hanya bermodalkan kampak batu. Sekarang, jarang orang yang mengunakan perahu dayung, karena sudah ada perahu ketinting. Hal ini membuka banyak peluang untuk mereka, karena perjalanan yang awalnya ditempuh berhari-hari dengan menggunakan perahu dayung, kini ditempuh dalam hitungan jam saja. Masuknya gaharu sebagai komoditas utama Kabupaten Mappi juga membuat besi lacak menjadi alat utama penunjang ekonomi rumah tangga. Besi lacak ini ditusuk-tusukkan ke dalam tanah untuk mendapatkan serat kayu gaharu yang telah mati. Apabila didapatkan serat kayu gaharu, maka baru tanah digali dan didapatkan ampas maupun pokok kayu gaharu yang bernilai mahal.