Kimaam dan Keramah Tamahannya

Penulis: Wilda Cahyani Sipayung, 05 June 2022
image
Yang manis tapi bukan gula

Seseorang pernah bilang, ramah tamah adalah tawaran sakral dalam pengikat hubungan pertemanan. Aku sepakat, tentu saja ramah tamah adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Indonesia yang harus terus dirawat..

 

Sesaat lalu kami berempat baru menikmati mengudara dengan pesawat perintis Susi Air. Ya.. menikmati goncangan ringan di dalam pesawat dan suara mesin yang sedikit memekakkan telinga. Ini kali pertamaku terbang dengan melihat langsung Pilot mengoperasikan pesawat. Pesawat Susi Air ini diterbangkan oleh dua orang pilot berkewarganegaraan asing. Selama 45 menit kami menempuh perjalanan dari Kota Merauke ke Distik Kimaam. Kondisi cuaca saat itu hujan ringan, walau demikian kami mendarat dengan mulus di Bandara Kimaam.


Sebenarnya pesawat bukan satu-satunya moda transportasi yang bisa digunakan untuk mencapai Pulau Kimaam ini. Namun pada saat itu informasi transportasi yang kami dapat sangat minim, dan lagi kami harus segera melakukan survei ke kampung-kampung, akhirnya diputuskan menggunakan pesawat. Selain melalui jalur udara, untuk menuju Kimaam bisa juga ditempuh dengan jalur air dan darat. Distrik Kimaam bisa dijangkau menggunakan Kapal dengan waktu tempuh sekitar 15-18 jam perjalanan. Dengan catatan jadwal keberangkatan yang disesuaikan dengan kondisi cuaca dan pergerakan kapal. Kapal penumpang yang berlayar ke Kimaam diantaranya adalah Kapal Sabuk 47 dan KMP Muyu. Untuk jalur darat sendiri bisa dilalui jika sedang musim kemarau ketika jalanan kering, dari informasi yang ku dapat perjalanan memakan waktu sekitar 6-8 jam.  


Akhirnya kami tiba di Kimaam. Baru terasa bagiku suasana sebenarnya berada di Papua. Sebelumnya di Merauke yang sudah banyak pendatang dari jawa dan sulawesi, jarang tampak putra daerah di jalan-jalan besar yang biasa kami lalui. Disinilah Kimaam, pulau yang terpisah dengan daratan Merauke yang terletak di sebelah selatan Papua. Begitu keluar dari jalan bandara yang penuh lumpur dari hujan, tampak rumah-rumah papan yang seragam warna dan bentuk berjejeran rapi. Disepanjang jalan yang kami lewati beberapa orang berlalu lalang dengan kaki kosong menyapa kami dengan senyuman manis khas orang-orang Papua. Percayalah orang Papua itu kelihatannya saja bermuka sangar, tapi kalau sudah senyum es batu sekalipun bisa meleleh. Untungnya orang disini tidak pelit senyum, jadi suasananya terasa sejuk walau suhu di Kimaam itu panas. hehe


Begitu tiba kami langsung menemui pemerintah distrik untuk menyampaikan maksud kedatangan kami. Berkat orang-orang baik ini kami mendapatkan bantuan tempat tinggal dan informasi terkait kampung-kampung yang akan kami survei. Beberapa kampung yang akan kami survey lokasinya berada di ujung pulau dan hanya bisa di akses dengan menggunakan speedboad. Bahkan katanya ada kampung yang hanya bisa dijangkau dengan perahu kecil (mereka menyebutnya pok-pok) yang digerakkan dengan cara di tokong (bilah pelepah sagu ditancapkan ke dasar air untuk kemudian mendorong perahu) dengan waktu tempuh sekitar 2 hari. Tentu saja biaya yang akan di habiskan menuju ke sana tidak murah. Jika mengikuti hitung-hitungan “normal” disana, biaya untuk mencapai lokasi terjauh dipatok harga 40juta. Mahal sekali, bukan    


Untuk lebih mengenal Kimaam, di hari kedua tiba kami berempat berkeliling. Di sepanjang jalan kami disapa “selamat siang tanta, selamat siang kaka, kaka da..” tentu saja tidak ketinggalan senyum manis mereka. Keramah tamahan mereka membuat suasana di Kimaam terasa hangat. Sapaan itupun tertular ke kami, setiap berselisih dengan orang lain kami pun menyapa mereka dan memberikan senyum manis.


Ketika melewati Kampung Kimaam kami menemukan banyak anak-anak yang bermain. Melihat kamera yang kami bawa awalnya mereka malu-malu di foto, tapi karena dipancing oleh salah satu Patriot yang ikutan masuk frame akhirnya mereka malah berebutan untuk berfoto. Ketika kami mengobrol-ngobrol mereka masih malu-malu untuk menjawab, malah dibalas dengan senyuman saja. Setiap satu orang dari mereka diajak mengobrol yang lainnya akan tertawa melihat kami.


Sejak awal kami percaya kebaikan akan datang dari siapa saja. Begitupun di Papua khususnya di Kimaam, dengan satu kata sapaan dan senyum ramah mengantarkan kami bertemu banyak orang-orang baik.