Disadarkan oleh Kesederhanaan

Penulis: Desi Sylvia, 19 May 2022
image
oleh-oleh dengan kearifan alam

  Saban bulan, aku tinggal di rumah Bapak Sekretaris Kampung bersama istri dan ke-6 anaknya. Awalnya aku sulit mengingat wajah dan nama-nama anaknya, karena memiliki jarak umur yang cukup dekat-dekat. Sejak aku tinggal di rumahnya, aku memanggil beliau dengan Bapak dan Mamak. Aku dipanggil Anak oleh beliau, juga Kakak (panggilan dari anak-anak bapak&mamak)

Rumah bapak cukup luas, rumah tembok juga rumah kayu sebagai dapur. Tapi, tak jarang bapak dan adik-adik tidur di dapur, alasannya biar gak panas. Sebatas itu. Anak-anak tak perlu repot ketika waktu tidur datang, mereka bisa tidur dengan cepat-tanpa mikir dimana kasurnya, dimana selimutnya. Beralaskan kardus dan dibawah kelambu mereka sudah bisa tertidur dengan lelap

Bila waktu shalat tiba, Bapak selalu melarang keras anaknya kalau berbuat keributan. Suasana semakin sunyi, apalagi kalau magrib-isya. Mereka biasa nunggu aku di dapur, supaya suara obrolan mereka gak mengganggu ibadahku, berulang kali bapak bilang seperti itu. Kami biasa lanjut makan malam bareng-bareng di Dapur, mengobrol banyak hal, menertawakan apa saja yang seharian telah dilalui.

Tidur beralaskan matras yang dibawa dari sejak pelatihan, dibawah kelambu yang disiapkan dari Puskesmas, lampu temaram yang semakin malam semakin redup, tentu saja itu lampu satu-satunya di rumah, tidak ada listrik lagi.

Pagi-pagi aku saksikan Mama yang urus anak bungsunya, sedangkan si cikal urus adik-adik yang lainnya. Kalau mama cari kayu bakar ke hutan, si cikal yang urus semuanya, terlebih si bungsu yang masih bayi juga adik lainnya yang masih kecil juga.

“sa jaga adik, supaya mama cari kayu. Besok sa cari ikan, kita makan enak toh?” ucap si cikal

Hatiku terenyuh, betapa kombinasi perempuan-perempuan mandiri yang saling menopang kehidupan keluarga. Terkadang, malu ternyata dibuat oleh diri sendiri, lagi-lagi diingatkan oleh diri sendiri.

Apakabar aku yang biasanya tinggal puterin alat lalu muncul api? Apakabar yang biasanya makan tinggal cari warung, atau kalau keuangan lagi bagus tinggal klik di aplikasi, lalu makanan datang ke rumah dengan sendirinya meski aku hanya duduk di rumah? Dimana ya letak rasa syukurku, dulu?

               Tinggal di Pedalaman, agaknya memang banyak tantangan. Berjalan jauh sampai ujung Kampung pun jangan berharap ketemu tukang cilok atau ketemu seblak, tidak ada. Sepanjang jalan hanya rumah-rumah yang sepi penghuni karena ditinggal ke hutan.

Makan sehari-hari memanfaatkan yang ada di kebun, seperti papaya mentah dan daun singkong yang dilepngakpi dengan santan yang tentu saja dari pohon kelapa di pekarangan rumah. Atau, kalau pergi mancing, aku bisa makan ikan sebagai pelengkap nasi atau pun sagu.

Layaknya anak-anak pada umumnya, bila ditinggal orang tua ya pasti mengharap oleh-oleh. Anak-anak berlarian menyambut mama yang baru pulang dari ambil kayu di hutan, mereka menyebutnya mama bawa makanan. Aku ikut lari serta membantu bawa kayu meski hanya yang ringan-ringan saja. Anak-anak bersemangat, lalu mama memberi oleh-olehnya. Mengejutkan, oleh-olehnya adalah tumbuhan yang bisa dimakan, aku lupa Namanya. Tapi kalau gak salah dengar, Namanya nibung. Biasa dimakan dengan garam, atau pun dengan cabe. Kalau ada nasi, ya tentu saja mereka campur dengan nasi.

Sesederhana itu…