Soal Papua: Frank Sahilatua Benar, Aku Yang Salah

Penulis: Ihsan Aldi Putra, 16 May 2022
image
Foto pertama kali bertemu dengan Bapak Rumanasen (Topi Merah)

Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua

Hitam kulit, keriting rambut, aku Papua

Biar nanti langit terbelah, aku Papua

Lagu berjudul “Aku Papua” karya Franky Sahilatua mengiringiku menulis cerita ini, cerita tentang seorang anak muda yang pertama kali menginjakkan kakinya di provinsi paling timur di Indonesia, “tanah papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi…” seperti kata penggalan lirik dari lagu yang sedang aku putar ini. Tapi bagaimana mungkin sebuah tempat seperti yang aku bayangkan penuh kengerian ini digambarkan dalam bait lagu yang seindah itu?

Tidak pernah terpikir selama hidupku untuk datang ke tempat ini, sebuah tempat yang jika aku lihat beritanya di televisi hanya kekacauan dan kekejaman yang terjadi di sana. Aku patut bersyukur karena program Patriot Energi membawaku sampai ke tempat yang tadinya aku anggap ngeri itu.

Mugkin kengerian dan keindahan itu benar adanya. Tapi bukankah di setiap sudut di dunia pasti ada kebaikan dan kejahatan? Aku bisa mengatakan ini karena pada saat cerita ini ditulis tidak terasa aku sudah menetap selama kurang lebih enam bulan di Papua. Selama 2 bulan aku menetap di Kabupaten Mamberamo Raya dan bulan selanjutnya aku menetap di Kabupaten Kepulauan Yapen, Distrik Pantai Utara, Kampung Yobi hingga saat ini. Dan anggapanku soal kengerian Papua itu hanya sebatas di pikiran saja. Melalui tulisan ini aku akan berbagi pengalaman dan perasaan yang aku alami selama hidup dan berbaur dengan masyarakat di sini. Bisa dikatakan mungkin tidak bisa mewakili Papua secara keseluruhan, tapi inilah yang aku rasakan selama berada di sini.

1.  Orang Papua itu Baik dan Lucu

 

Aku rasa ini tidak berlebihan dan benar adanya, setidaknya dari pengalamanku ternyata dibalik fisiknya yang bisa dibilang sangat misterius, bermata tajam, kulit hitam, dan badan kekar mereka sungguh baik dan lucu. Selama aku menetap di sini jika diingat-ingat masyarakat selalu mengusahakan jika aku memerlukan sesuatu/bantuan. Seperti jika aku sedang ingin minum air kelapa, makan durian, butuh ditemani survey sungai, sekedar jalan-jalan sore ke pantai atau butuh teman untuk mengobrol dan masih banyak lagi, mereka selalu siap untuk mengusahakan kebutuhanku itu. Dan kadang aku malu sendiri tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain dari pertolongan mereka. Pernah suatu kali aku berjalan-jalan dengan seorang pemuda ke pantai dan ketika akan pulang aku menyuruhnya untuk pulang lebih dulu karena jalan kami memang beda arah, tapi ternyata dia berkata begini “sa su pergi dengan Pak Guru jadi sa harus antar Pak Guru sampai ke rumah supaya aman toh”. Hal yang mungkin baginya kecil tapi amat berarti buatku.

Orang Papua juga lucu, kalau kita sedang ngobrol dengan mereka biasanya durasinya tidak bisa sebentar. Memang untuk tahap awal kita akan membahas hal-hal yang serius tapi jika obrolan sudah terlalu membuat mengantuk mereka akan menceritakan hal-hal lucu atau cerita “Mop” khas Papua. Selain itu tingkah mereka juga lucu dan ini hampir aku temui di setiap orang. Dan bagiku selera humor mereka cukup tinggi dan mungkin tentang humor di Papua ini nanti akan aku bahas lebih lanjut.

2.     Panca Indera Orang Papua di Atas Rata-Rata

Kampung Yobi di Kabupaten Kepulauan Yapen ini adalah salah satu daerah yang belum berlistrik, jadi beberapa masyarakat ketika malam hari biasanya menggunakan Genset untuk penerangan. Suara dari pendingin/kipas biasanya akan cukup bising dan cukup mengganggu pendengaran. Di belakang rumah adalah tempat biasa kami mengobrol yang lokasinya cukup dekat dengan rumah genset, aku cukup kesulitan dan kadang tidak enak hati jika dalam situasi seperti ini, telingaku sulit sekali menangkap obrolan dan kadang aku hanya mengangguk dan tertawa saja jika mereka juga tertawa. Tapi yang lebih sulit lagi jika aku sekali mendapat pertanyaan biasanya aku akan banyak menampilkan gerakan “hah” “hah” “hah” sampai mereka meninggikan suara baru aku bisa menjawabnya. Tapi mereka mengobrol tanpa kendala sama sekali, bahkan ketika ada orang yang datang dan berbicara dari jarak yang lumayan jauh mereka masih bisa menangkap informasinya. Sungguh suatu kelebihan yang patut disyukuri menurutku. Bukan hanyab telinga, panca indera yang lain juga sama baiknya. Mata mereka seperti CCTV yang ada di setiap sudut kampung. Kadang ketika aku misalnya sedang berjalan-jalan dengan anak-anak di sekitar kampung dan aku yakin betul tidak ada yang melihatnya. Tapi biasanya tiba-tiba ketika mereka bertemu denganku mereka akan bercerita “mas tadi pergi main bola dengan anak-anak di pantai toh?” “Pak guru tadi di kuburan ikut mium bobo kah”. Luar biasa sekali aku merasa pergerakanku selama di sini dipantau oleh mereka, di satu sisi aku merasa jadi lebih aman, tapi lumayan cukup takut juga hehe. Kulit mereka juga luar biasa, ketika aku diajak memanen durian jatuh di hutan, kulitku habis digigit nyamuk tapi kulihat kulit mereka aman-aman saja. Lalu indera penciuman mereka juga tajam sekali “Pak Guru ada durian jatuh sebelah kanan baunya sudah tercium” tidak lama kemudian ia mengangkat durian yang masak itu. Wow.

 

3.     Belajar Memuliakan Tamu dari Orang Papua

Aku beruntung selama menetap di Yobi bisa tinggal dengan keluarga Bapak Peter Rumanasen, Ia adalah orang yang cukup berpengaruh di kampung itu karena mempunyai hak wilayah yang besar dan terkenal akan kedermawanannya. Di rumah ini ia tinggal bersama istri yang kemudian aku panggil “Mama” dan ketiga anaknya. Bapak Rumanasen mempunyai dua rumah satu rumah lama yang berbahan dasar kayu dan yang terbaru adalah rumah modern berbahan dasar batu. Kedua rumah ini saling berhadapan, rumah batu berada di depan dan rumah kayu di belakang. Dari awal kedatanganku Bapak Peter langsung menawarkan aku untuk tinggal bersamanya terlihat sekali tidak ada kecurigaan sedikit pun terhadapku padahal baru hari itu kita bertemu. Singkat cerita aku dipersilahkannya tinggal di rumah batu karena menurut ia rumah ini sering kosong, ia sekeluarga lebih senang tinggal di rumah lama. Aku belum percaya karena jangan-jangan hanya karena ada aku jadi Bapak dan sekeluarga jadi tidur di rumah lama. Tapi ia meyakinkan dan aku tidak bisa menolak. Aku diberikan kamar yang sangat nyaman, ukurannya cukup luas, lengkap dengan kasur, bantal, dan guling. Sudah kurang lebih 5 bulan aku tinggal dengan kelurga baru ini dan mereka sungguh menyenangkan sekali. Aku diperlakukan seperti seorang raja di sini. Kadang aku hanya baru bilang “Mama, sekarang su masuk musim durian kah?” “Belum terlalu abang, kenapa abang mau makan kah?, bebera jam kemudian durian datang bdan aku disuruh memakannya. Butuh apapun mereka selalu mengusakannya. Hahhhh rasanya memang aku harus banyak belajar cara memuliakan tamu dari keluarga baruku ini.

4.        Franky Sahilatua Benar, Aku yang salah

Tanah Papua, tanah yang kaya.

Surga kecil Jatuh ke bumi

Seluas tanah sebanyak madu

Adalah harta harapan

Franky Sahilatua menggambarkan Papua lewat lagunya yang berjudul “Aku Papua” ternyata benar dan tidak berlebihan. Surga kecil jatuh ke bumi, jika dibandingkan dengan surga yang asli bisa jadi papua hanya sebagian kecilnya saja, dari mulai laut, gunung, hutan dan segala yang hidup didalamnya mempunyai keindahan yang mendekati keindahan surga. Sejak di sini ketika mendengarkan lagu ini aku bisa turut hanyut di dalamnya dan aku merasa bangga juga bisa berada di tengah orang-orang Papua. Terakhir, aku minta maaf karena telah salah menilai Papua selama ini.