Dari Glasgow ke Mappi: Relevansi Komitmen Perubahan Iklim Global untuk Masyarakat Adat Papua

Penulis: Alvin Putra Sisdwinugraha, 14 April 2022
image
Perjalanan menuju Kampung Harome di Distrik Obaa, Kabupaten Mappi, Papua

Jingga langit senja kala itu merekah di ufuk barat menuntun perjalanan kami, ditemani suara jangkrik yang menderik dan mesin diesel yang memekik. Ketinting yang kami kendarai melaju pasti membelah rawa-rawa dan air keruh Sungai Obaa. Sore itu, kami dalam perjalanan dari Kampung Harome, Distrik Obaa, menuju Kota Kepi, ibukota Kabupaten Mappi, Papua.


Perjalanan melalui sungai menggunakan ketinting memakan waktu kurang lebih 2 jam. Karena kami berangkat terlampau sore, matahari terbenam mendahului kami menuju Kepi. Tentunya, lalu lintas sungai yang kami lalui tidak dilengkapi penerangan jalan umum (PJU), sehingga hanya mengandalkan senter kepala yang setengah redup. Kami wajib berterima kasih kepada kontraktor menara telekomunikasi yang kami tumpangi, karena kami tidak perlu mengganti uang bahan bakar minyam (BBM) yang kala itu langka dan menyentuh harga Rp 15.000 per liter.


Pada hari itu pula, sudah hampir satu bulan semenjak para petinggi dunia berkomitmen untuk menghentikan pemanasan global melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) perubahan iklim Conference of the Parties ke-26 (COP26) yang dihelat di Glasgow, Skotlandia. Nampaknya, ambisi yang telah dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai hasil Paris Agreement tahun 2015 silam memerlukan evaluasi terhadap pelaksanaan dan dampaknya terhadap penurunan emisi global [1]. Di belahan dunia yang lain, saya tengah menyusuri kampung-kampung yang belum terlistriki di balik kelokan sungai-sungai Kabupaten Mappi, menjajal potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dapat dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.


Urgensi listrik EBT: Solusi atau hanya sekedar ego sektoral?

Program Patriot Energi 2021 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sedang saya jalani bukan bantuan listrik yang pertama kali dilakukan untuk masyarakat Mappi. Tahun 2015, dana Otonomi Khusus (OTSUS) memberikan bantuan berupa rumah dilengkapi solar home system (SHS), lengkap beserta panel surya, baterai aki, inverter, dan lampu penerangan. Sekitar 3 tahun berselang, bantuan berupa lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) diberikan oleh Kementerian ESDM secara bertahap ke kampung-kampung. Ekspedisi Papua Terang oleh PLN juga dilakukan pada selang 2018–2019, dan menghasilkan pembangunan bertahap PLTS off-grid di beberapa kampung, seperti 50 kWp di Rep-Enem-Paidam, 25 kWp di Toghom, dan 20 kWp di Taragai. Hasilnya? Hanya segelintir yang bertahan dan berfungsi sebagaimana mestinya. Ada yang hanya tinggal barang rongsok, bahkan beberapa warga menjual bantuan-bantuan tersebut di kota dengan harga yang tidak seberapa. Hanya PLTS off-grid yang pemeliharaan asetnya di bawah naungan PLN masih berjalan dengan baik. Masyarakat di lokasi-lokasi tersebut diperlakukan sebagai pelanggan listrik pada umumnya dan diharuskan membeli token listrik, di tengah kondisi masyarakat yang mayoritas tidak mengenal teknologi informasi dan komunikasi.


Panel surya bantuan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) di Kampung Harapan, Distrik Venaha.


Reduksi emisi karbon menjadi salah satu poin yang dibahas dalam COP26 silam, dan penambahan pembangkit EBT tak ayal menjadi target penting. Sayangnya, hasil yang disepakati terkait penurunan emisi dari pembangkit berbasis fosil menuai berbagai kekecewaan dari berbagai pihak, setelah intervensi India dan Tiongkok mengubah kata “phase out” (menghapus) menjadi “phase down” (mengurangi) untuk penggunaan batubara [2]. Namun, hasil tersebut tidak menghalangi berbagai negara berlomba-lomba meningkatkan penggunaan pembangkit EBT. Kapasitas pembangkit EBT di Indonesia terpasang pun juga ikut meningkat, dengan penurunan harga komponen beberapa tahun belakang menjadi salah faktor pendorongnya. Laporan dari Institute of Essensial Services Reform (IESR) tahun 2021 [3] menunjukan bahwa sampai pada Q3 2021, kapasitas pembangkit EBT yang terpasang di Indonesia mencapai 10,89 GW atau sekitar 13,53% dari total pembangkitan listrik, dengan dominasi dari pembangkit tenaga air skala besar. Di samping itu, regulasi terkait EBT semakin memudahkan pelanggan maupun kontraktor dalam membangun pembangkit EBT, seperti Peraturan Menteri (Permen) ESDM 4/2020 terkait pembangkit EBT yang diikat dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) sebagai revisi Permen ESDM 5/2017. Permen ESDM 26/2021 yang dinanti-nantikan lebih mendorong lagi instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap untuk pelanggan residensial.


Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana ambisi dan regulasi yang diterapkan mendorong elektrifikasi berbasis EBT di tanah Papua, khususnya daerah Mappi? Nampaknya, tidak begitu signifikan juga. Harga pasaran komponen EBT yang perlahan turun masih terhambat akses lokasi yang didominasi rawa-rawa dan anak sungai sempit. Banyaknya kebutuhan BBM yang harus dipenuhi guna mentransportasikan komponen pembangkit ke desa-desa pelosok malah justru kontraproduktif dengan tujuan mengurangi emisi karbon. Rekomendasi kebijakan yang coba didorong pun masih berfokus pada peneterasi EBT di daerah kota-kota besar, seperti rekomendasi penerapan feed-in tariff yang dicanangkan dalam draft Peraturan Presiden terbaru untuk menjaga harga EBT bersaing dengan pembangkit berbasis fosil di daerah dengan biaya pokok pembangkitan (BPP) cukup rendah, seperti di Pulau Jawa. Regulasi terkait PLTS seperti net-metering 1:1 ataupun carbon trading rasanya belum mampu menjawab tantangan EBT di daerah 4T seperti Kabupaten Mappi ini, disebabkan keterbatasan infrastruktur. Buktinya dapat dilihat dengan kapasitas PLTS off-grid terpasang di seluruh Indonesia yang macet di angka 34,6 MWp semenjak pandemi COVID-19 melanda.


Selain membutuhkan suntikan subsidi yang tidak sedikit, sekilas terlihat bahwa pembangunan EBT di daerah 4T (Terdepan, Terluar, Tertinggal, dan wilayah Transmigrasi) memiliki kontribusi penurunan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan membangun EBT di daerah padat penduduk. Pemerataan elektrifikasi masih menjadi urgensi utama EBT untuk daerah 4T, berbeda dengan komitmen memerangi krisis iklim dalam COP26 yang lalu. Sehingga jika elektrifikasi menjadi kunci utama, tentu kesetaraan akses lah yang harus dijamin terlebih dahulu. Namun, pihak kementerian yang cukup resisten saat kami meminta adanya kerja sama dengan PLN menimbulkan indikasi adanya ego sektoral dalam pembangunan EBT ini. Padahal, kantor Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Merauke yang menjadi perpanjangan tangan Kementerian di tingkat kabupaten pun sekarang kosong dengan kondisi yang memprihatinkan. Kesetaraan akses yang dikejar pun malah disabotase oleh rumitnya birokrasi. EBT hanya sekedar menjadi alat gagah-gagahan para pihak berwenang saja, sehingga program yang pernah diberikan harus pertama-tama membawa nama instansi terlebih dahulu.


Panel listrik diesel kampung di Kampung Gayu, Distrik Passue


Melihat tantangan-tantangan tersebut, tentunya urgensi EBT menjadi dipertanyakan relevansinya bagi masyarakat adat di Mappi dengan pola hidup yang tentu berbeda dari masyarakat kota. Pemenuhan kebutuhan dasar hidup masyarakat adat Papua masih melalui kegiatan beburu dan meramu dari hasil hutan, seperti memangkur sagu, menangkap ikan, dan berburu hewan seperti rusa, babi, dan kasuari. Pola hidup yang seperti itu akan mengalami disrupsi apabila listrik masuk menjadi barang modern yang justru tidak menjawab kebutuhan dasar mereka akan peningkatan kualitas hidup. Hal inilah yang menyebabkan berbagai subsidi dan bantuan terkait listrik tidak bertahan lama. Melimpahkan kepemilikan aset kepada PLN pun merupakan solusi jangka pendek yang berpotensi kontraproduktif, karena harus mensubsidi harga listrik secara terus-menerus di tengah kondisi keuangan perusahaan yang tidak sehat-sehat amat. Akibat lainnya dari disrupsi listrik terhadap pola hidup kampung adalah masyarakat malah memprioritaskan kebutuhan tersier seperti tape dan televisi, dibandingkan kebutuhan dasar maupun produktif.


Di sisi lain, arus kemajuan zaman terus berkembang, dan akses energi menjadi elemen yang tidak terpisahkan. Masyarakat tidak bisa terus-menerus mengandalkan diesel kampung untuk memenuhi kebutuhan energinya; yang mesinnya memang dengan mudah didapatkan di kota, namun hanya menyala ketika suplai BBM cukup terjangkau. Secara konsep, seharusnya EBT mampu menawarkan solusi terhadap keterbatasan akses sumber energi konvensional, seperti olahan hasil bumi. Namun melihat dari sejarah masyarakat Mappi dengan bentuk-bentuk bantuan listrik tersebut, harus dikaji ulang bagaimana listrik EBT yang diberikan mampu menyesuaikan ke dalam pola hidup masyarakat yang telah dibangun, bukan sebaliknya. People-driven electrification menjadi jawaban atas permasalahan akses, keberlanjutan, dan dampak, sehingga pembangunan yang dilakukan tidak hanya sekedar membawa embel-embel pemerataan.


Hutan Papua sebagai dasar hidup masyarakat adat

Namun, bukan berarti perubahan iklim bukan merupakan isu yang krusial bagi masyarakat adat Papua. Dalam COP26, deforestasi neto ditargetkan mencapai angka nol pada tahun 2030 mendatang, dengan dana total 19 miliar dollar AS dikucurkan sektor swasta dan publik untuk menghentikan laju deforestasi global. Indonesia sebagai salah satu pemilik tutupan hutan terluas di dunia juga ikut dalam penandatanganan kesepakatan ini. Hal ini dilakukan dalam rangka penanggulangan kesepakatan tahun 2015 silam yang gagal total dalam menghentikan laju deforestasi akibat perdagangan global bahan pangan dan produk agrikultur lainnya, seperti sawit, beras, dan kayu pulp. Dalam sudut pandang global, keberadaan hutan merupakan kunci untuk menyerap emisi karbon dan menahan penambahan suhu global di bawah 1,5 °C [4]. Turunnya laju deforestasi yang dialami Indonesia beberapa tahun belakangan menjadi kebanggan dalam pertemuan di Glasgow kemarin, yang berdasarkan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengalami penurunan sebesar 75,03% atau sebesar 115,46 ribu hektar [5].


Sayangnya bagi masyarakat Papua, hutan bukan sekedar capaian angka belaka. Hutan adalah sumber kehidupan mereka, serta ibu pertiwi mereka. Hutan menyediakan sumber-sumber hidup mereka, seperti bahan makanan, tempat tinggal, obat-obatan, dan air bersih. Tidak hanya itu, hutan-hutan Papua adalah tanah adat, dan merupakan tempat sakral bagi suku lokal Papua. Laporan Center for International Forestry Research (CIFOR) tahun 2018 [6] menunjukan bahwa selama selang waktu 2001–2018, sekitar dua persen atau 713.766 hektar dari hutan di Propinsi Papua dan Papua Barat mengalami pembukaan lahan. Lima besar alasan pendorong adanya deforestasi adalah pembukaan lahan oleh perusahaan perkebunan/agrikultur, perusahaan penebangan kayu, pembangunan infrastruktur, dan kebakaran hutan. Pembukaan lahan oleh perusahaan sawit dan kayu pulp bertanggung jawab atas hilangnya 215.289 hektar atau sekitar 30% dari total deforestasi di Papua. Kondisi ini dapat lebih parah lagi dengan proyek yang sedang dilancarkan oleh pemerintah pusat.


MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) merupakan proyek rintisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2010, yang mencanangkan bahwa tanah Merauke dapat menjadi lumbung makanan dan energi nasional, bahkan internasional. Apabila terealisasikan dengan baik, diprediksikan bahwa pada tahun 2030, Indonesia akan memiliki cadangan beras sebesar 1,95 juta ton, jagung 2,02 juta ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ekor, gula 2,5 juta ton, serta crude palm oil (CPO) 937.000 ton per tahunnya. Tentunya merupakan proyek yang menggiurkan, yang diprediksi mampu menghemat pengeluaran sebesar Rp 4,7 triliun melalui pengurangan impor pangan. Tak ayal, banyak investor yang ikut menanamkan modalnya dalam proyek ini, sebut saja Medco, Come-Xindo Internasional, bahkan Binladen Group dari Arab Saudi [7].


Masyarakat Kampung Harome, Distrik Obaa


MIFEE bukanlah proyek lumbung padi pertama yang dilakukan di Indonesia. Pada tahun 1995, Soeharto mencanangkan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar untuk ditransformasikan menjadi sawah [8]. Lahan yang digunakan adalah lahan gambut di daerah Kalimantan Tengah seluas 1,45 juta hektar. Hasilnya, hanya terealisasi seluas 110 ribu hektar. Proyek ini malah mewariskan permasalahan kebakaran lahan gambut yang menjadi penyebab bencana asap pada sekitar tahun 1997–1998. Pemerintah Belanda juga pernah menjajal proyek yang sama pada tahun 1960-an dengan membuka lahan persawahan di Kampung Kumbe, Distrik Kurik, Merauke. Proyek yang disebut Rijstproject Koembe atau proyek padi Kumbe [9] dimulai pada tahun 1951, dan diprediksi mampu memenuhi kebutuhan sampai di daerah Papua Nugini. Proyek ini dijalankan atas dasar prediksi Pemerintah Hindia Belanda yang mengatakan bahwa Merauke mampu menjadi lumbung padi untuk Papua dan kawasan Pasifik. Sayangnya, mekanisasi dan intensifikasi lahan di daerah Merauke masih hanya angan-angan belaka dikarenakan karakteristik tanah yang berbeda dengan daerah sawah di Pulau Jawa.


Proyek MIFEE ini cukup problematik bagi banyak pihak, namun paling terutama adalah untuk masyarakat Papua. Sebanyak 1,16 dari 1,28 juta hektar tanah yang dicanangkan untuk program MIFEE ini berada di kawasan hutan. Kawasan tersebut merupakan rumah bagi berbagai flora dan fauna, serta menjadi pemenuh kebutuhan masyarakat adat di Papua Selatan. Proyek ini merupakan ancaman nyata bagi kelestarian alam dan budaya. Potensi konflik yang dapat disebabkan oleh proyek ini pun cukup nyata, dibuktikan dengan permintaan Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial untukk menangguhkan proyek ini [10]. Hasil yang dicapai pun jauh dari kata memuaskan, dengan hanya sekitar 400 ribu hektar lahan yang terealisasikan. Walau sempat ditangguhkan, di tengah ancaman krisis pangan akibat pandemi COVID-19, Presiden Jokowi meluncurkan kembali program ini dengan dalih menyelamatkan Indonesia dari krisis pangan. Dana sebesar Rp 6 triliun dikucurkan untuk proyek setengah matang ini, dan kali ini, daerah targetnya meluas hingga ke Kabupaten Boven Digoel dan Mappi [11].

Kami juga bertemu dengan Bapak Hary Woersok, Kepala Yayasan Amam Bekai di bawah naungan rohaniawan Gereja Katolik dari tarekat Misi Hati Kudus (Missionarii Sacratissimi Cordis, MSC) pada hari Minggu (2/1/2022). Pengalaman Pak Hary dengan masyarakat adat Papua Selatan lekat dengan sengketa lahan dan konflik agraria. Beliau mendampingi masyarakat Papua dalam memperjuangkan atas tanah yang terus digerus dengan adanya program MIFEE. Pembukaan lahan secara ekstensif yang telah dilakukan terus menebar benih konflik, namun tidak juga dimanfaatkan dengan baik. Timbul kecurigaan bahwa selain dijadikan lahan penanaman untuk bahan pangan, beberapa perusahaan justru lebih mengincar gas alam yang tersembunyi di balik tanah Papua Selatan.


Bevak warga di sekitar Kampung Wanggate, Distrik Obaa


Permasalahan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang semakin dipersulit menimbulkan efek domino yang cukup kompleks. Masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, terutama sumber protein dari hewan-hewan buruan. Dengan semakin luas lahan yang dibuka, hewan-hewan buruan seperti rusa, kasuari, babi hutan, kuskus, maupun saham (sejenis kangguru kecil), harus mencari habitat lebih jauh lagi di tengah hutan. Mereka pun menjadi sulit diburu. Kesulitan sumber makanan bergizi oleh masyarakat Papua malah ditambal dengan membeli bahan makanan instan seperti mi instan dan sarden kaleng yang hampir kadaluarsa, dengan manfaat nutrisinya sangat rendah. Hal ini semakin diperparah dengan semakin maraknya kios-kios yang dibuka oleh pendatang di kampung-kampung mereka. Kini, rata-rata masyarakat Papua menghabiskan lebih dari 50% pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pola konsumsi seperti inilah yang dikatakan Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, sebagai masyarakat prasejahtera. Tidak hanya masalah keracunan makanan saja, pemenuhan kebutuhan pangan dengan kualitas rendah tersebut menyebabkan permasalahan lain seperti stunting, yang semakin lebih jauh lagi menjebak masyarakat Papua dalam kemiskinan struktural untuk beberapa generasi mendatang.


Disrupsi Sosial Masyarakat Adat Papua

Menurut Pak Hary, dinamika masyarakat adat di daerah Melanesia, termasuk Papua, memperhatikan kesetaraan antara tiga buah aspek: masyarakat, sumber daya, dan organisasi. Ketiga aspek ini memiliki hubungan timbal balik satu sama lain. Hal inilah yang menyebabkan pola hidup food gathering memiliki jejak ekologis yang sangat rendah, karena penghargaan dan hubungan yang erat antara jati diri masyarakat dengan alam yang menyokong kehidupan mereka. Hubungan yang erat ini dapat terlihat secara jelas dari adopsi marga suku-suku yang ada, mulai dari nama binatang, tumbuh-tumbuhan, bentang alam, bahkan hingga tinja manusia pun dijadikan marga.


Pemerintah kolonial Belanda dan para misionaris MSC telah menyadari pola hidup tersebut sejak pertama kali masuk ke Tanah Merauke pada tahun 1905. Sayangnya, paradigma pola hidup kapitalis yang ditanamkan melalui pendidikan formal selama periode Orde Baru telah mencabut masyarakat dari akar kehidupannya. Paradigma pembangunan yang menekankan hasil dibandingkan proses kemandirian masyarakat menyebabkan terjadinya mobilisasi sosial, bukan perubahan sosial. Mulai tertanam pola hidup yang berorientasi pada pasar dan pengukuhan status serta level individu. Padahal, semangat kolektivitas yang dibawa oleh peradaban nenek moyang mereka telah menyediakan seluruh kebutuhan hidup, tanpa perlu mengenal konsep menabung maupun bercocok tanam.


Warga Kampung Kadam berlatih memainkan tifa untuk perayaan Natal & Tahun Baru


Bapak Valentinus Eriza Panca Anugerah, pemilik Yayasan Istana Merauke, juga telah melakukan pendampingan dan pelestarian budaya di Papua Selatan sejak tahun 1998. Beliau telah menghimpun berbagai peninggalan dan hasil kebudayaan dari lima suku besar di Papua Selatan: Marind, Mappi, Wamena, Asmat, dan Muyu. Dalam kesempatan pertemuan dengan kami pada hari Rabu (29/12/2021), beliau menceritakan bagaimana eksploitasi hutan dan disrupsi pola hidup modern telah mengubah tingkah dan pola perilaku masyarakat. Masyarakat lokal yang semakin terpojok dengan kehadiran korporasi dan masyarakat pendatang, harus mencari cara bagaimana bertahan hidup dengan sumber daya yang ada. Akibatnya, timbul pola pikir masyarakat yang manipulatif dan oportunis, termasuk dalam perihal permasalahan tanah adat. Lembaga Adat Masyarakat (LMA) yang terdapat di desa-desa kebanyakan hanya mengurusi perihal sengketa lahan, dan justru hanya dimakan oleh segelintir elit kampung.


Masyarakat suku Marind yang mendiami Pulau Kimaam, Kabupaten Merauke - Arsip Yayasan Istana Merauke


Epilog

Kapal Sabuk Nusantara 47 yang kami tumpangi perlahan-lahan mendekati Pelabuhan Merauke, setelah 12 jam mengarungi Laut Arafura. Kota Merauke menyapa kami di ujung lautan air keruh, seakan mengajak kami merebahkan badan sejenak setelah hampir dua bulan berkeliling ke kampung-kampung di Mappi. Kenyamanan kota kadang membuat saya lupa tujuan saya menginjakkan kaki di tanah kaya raya ini: memanusiakan manusia. Perjalanan spiritual yang saya alami memaksa saya kembali menyusuri nurani kemanusiaan saya, dan mempertanyakan relevansi agenda global untuk orang-orang yang termarjinalkan. Melihat realita yang terjadi di kampung-kampung Mappi, saya teringat perkataan Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, “Pendidikan sejati akan membawa suatu kesadaraan yang mendalam terhadap situasi yang mereaksi manusia untuk memahami suatu realitas yang lebih baik.” Pendidikan sejati akan membukakan mata masyarakat untuk terus ikut relevan terhadap realitas dunia, tanpa harus tercerabut dari akar kehidupannya.



Tulisan ini dapat dilihat juga pada: https://medium.com/@alvinpebe/dari-glasgow-ke-mappi-5cdd6ecfcd88



----------------


Referensi:

[1] https://grafis.tempo.co/read/2855/poin-penting-cop26-glasgow, diakses 27 Desember 2021

[2] https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211115074528-134-721130/hasil-cop26-disebut-mengecewakan-gagal-hapus-penggunaan-batubara, diakses 28 Desember 2021

[3] IESR (2021). Indonesia Energy Transition Outlook 2022. Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia: Aiming for Net-Zero Emissions by 2050. Jakarta: Institute for Essential Services Reform (IESR).

[4] https://www.bbc.com/news/science-environment-59088498, diakses 29 Desember 2021

[5] http://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5848/laju-deforestasi-indonesia-turun-7503, diakses 30 Desember 2021

[6] David Gaveau (2019). Drivers of forest loss in Papua and West Papua. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

[7] Sabiq Carebesth, Syaiful Bahari (2012). Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) Berkah atau Bencana bagi Rakyat Papua? Jakarta: Policy Paper Bina Desa.

[8] https://nasional.tempo.co/read/20664/proyek-lahan-gambut-sejuta-hektar-gagal/full&view=ok, diakses 3 Januari 2022

[9] https://www.batukarinfo.com/news/merauke-calon-lumbung-beras, diakses 2 Januari 2022

[10] Request for Consideration of the Situation of Indigenous Peoples in Merauke, Papua Province, Indonesia, under the United Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination’s Urgent Action and Early Warning Procedures. United Nations Committee on the Elimination of Racial Discrimination, Seventy-ninth session, 08 August — 2 September 2011.

[11] https://www.mongabay.co.id/2021/08/03/walhi-hutan-dan-masyarakat-adat-papua-terancam-proyek-food-estate/, diakses 3 Januari 2022.