Cahaya Kan Dirindukan

Penulis: Adang Chumaidi, 02 November 2022
image
Senja di Batu Atas Liwu

Tinggal di pulau terpencil dengan kondisi jauh dengan daratan besar, cukuplah berat kufikirkan apalagi dengan keadaan kampong halaman yang jauh dari kondisi pantai, lautan dan kapal apalagi bau ikan. Takut ? khawatir? Iya, penasaran ? tertantang ? pasti. Itu yang kurasa di awal keberangkatan. Selama 6 bulan di desa, banyak pemandangan yang menakjubkan yang tidak kutemui di rumah (kampong halaman) bahkan tempat-tempat yang pernah kukunjungi selama ini. Dari ribuan bintang yang tersebar di langit nan luas, deburan ombak yang menyamar menjadi suara petir di malam bulan ke 3, hujan yang bisa terjadi 5 kali dalam sehari, gagahnya tebing yang mengikuti bibir pantai, dan yang terbaik adalah cahaya surya saat berjumpa di awal hari dan memberikan salam di akhir hari.

Kehidupan yang sederhana dimana keseharian masyarakat adalah mencari ikan dan membuat kasuami untuk kebutuhan sehari-hari, tidak adanya listrik yang menghibur dan sinyal komunikasi yang membuat beban hidup serasa hilang serasa kualitas hidup menjadi lebih baik, setidaknya itu yang kufikirkan, meskipun terkadang tidak selaras dengan pandangan masyarakat. Interaksi sosial yang tinggi, kesederhanaan dalam bergaul, sopan santun dalam memperlakukan antar sesama, dan diiringi budaya mendengarkan music serta joget yang membuat kepala bergeleng-geleng entah karena music atau jogetan teman desa yang aduhai lincahnya. Kondisi nyaman, tenang dan unik yang membuat warna di setiap harinya.

Pemandangan indah tidak hanya terlihai dipermukaan ataupun langit batu atas, pemandangan yang ku jumpai di bawah lautpun juga beragam warna. Warna ikan yang bagaikan pelangi atau pelangi lah yang menyerupai warna ikan-ikan ini (entahlah semua sama-sama indah bagiku). Ikan yang biasa terlihat di TV sekarang berada di hadapanku. Mulai dari ikan nemo (entah nama sebenarnya apa), ikan kakap (disini mereka bilang ikan karang), ikan terbang (logo indosiar), lumba-lumba yang menari-nari di kejauhan, penyu sebesar perutku, bahkan ikan paus yang menyemprotkan air ke udara (saying tidak terfoto) telah kulihat di pelupuk mata ini.

Tebing mambulu yang gagah berdiri setiap harinya, menunjukkan pesonanya tiap harinya. Pernah disuatu hari aku bersama kawan desaku berniat menginap di tebing mambulu. Tentunya kita juga izin kepada pemangku adat setempat dan kepala desa, melihat lokasi tersebut merupakan lokasi yang bersejarah tidak mungkin kami melakukan acara menginap tanpa izin dari pihak terkait. Malam minggu kita menginap disana, kencangnya angin, hangatnya kopi ditemani kuis dadakan yang mengasah otak (kebetulan yang mengejutkan) menemani malam sampai larut. Tidur di tebing batu dengan atap ribuan bintang dengan hangatnya senda gurau, mungkin ini yang mereka sebut dengan kehangatan, mungkin.

Bangun dari tidurku untuk sembahyang subuh dan melihat matahari terbit dari ujung lautan, menyaksikan kilauan cahaya yang terpantul dari laut ke mata kita dan awan yang bergerak pelan menunjukkan gemulanya. Sungguh pemandangan indah yang kuabadikan baik di foto maupun di ingatan. Sebuah pemandangan yang menakjubkan.

Pengalaman yang berkesan merupakan kenangan yang tak terlupakan. Itulah yang kurasa selama tinggal dibatu atas ini. Kondisi masyarakat nelayan yang rukun, pemandangan indah disetiap sudut pulau yang memiliki kesan khas disetiap destinasinya, panas terik matahari di siang yang teramat menyengat dan keindahan pemandangan di awal hari serta petang sebelum matahari melakukan perjalananya ke sudut lain di dunia ini.