“Masih Ada Asa dan Harapan Dalam Kegelapan”

Penulis: Mashudi, 28 September 2022
image
Seorang Awat (Kakek) Sedang Menghidupkan LTSHE

“Terang” ya kata ini yang sangat didambakan masyarakat di desa pedalaman. Sejak 77 tahun kemerdekaan Indonesia, sebagian masyarakat di pedalaman baru dapat merasakan terang dimalam hari dalam kurun waktu empat tahun belakangan ini. Melalui bantuan LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) dari kementrian ESDM, kini masyarakat medapatkan penerangan dimalam hari. Sebelumnya masyarakat hanya menggunaka plita, namun kini tiga tahun berlalu lampu LTSHE mulai rusak dan habis masa garansi sehingga tidak berfungsi maksimal pada salah satu komponennya. Walaupun demikian dalam kondisi gelap saya masih dapat melihat dan merasakan setitik cahaya kecil berupa asa dan harapan orang tua kepada anak-anaknya agar kelak mereka bisa hidup lebih baik daripada mereka. Harapan dan doa yang tak pernah terputus agar anak-anak mereka nantinya yang berasal dari kampung pedalaman tertinggal lahir sebuah generasi yang membawa kemajuan dan kebanggan untuk desa. Malam ini terasa panjang bercerita dengan awat (kakek) dibalik bayang-bayang lampu LTSHE yang mulai redup, dari raut wajah dan mata awat saya melihat penuh dengan pengharapan besar dan sebuah pesan agar kelak anak dan cucu mereka tidak lagi sulit untuk menuju sekolah dan belajar dimalam hari. Hari ini hujan sepanjang hari tidak ada sinar matahari sehingga lampu tidak menyimpan tenaga surya secara maksimal, maka lampu secara perlahanpun mulai mati.

           Pagi hari ini di lembah pegunungan meratus terasa sangat dingin, anak-anak sekolah mulai berjalan menuju sekolah tanpa sepatu hanya menggunakan sendal , anak-anak yang berjalan dari dusun sebelah juga mulai berdatangan. Pembelajaran disekolah hanya dilakukan dua minggu sekali dalam satu bulan, sehingga anak-anak yang berasal dari dusun yang jauh harus menginap di desa induk untuk sekolah. Masyarakat menyediakan rumah untuk tinggal anak-anak yang berasal dari dusun pasumpitan, karena kalau pulang kerumah membutuhkan waktu satu harian berjalan kaki. Selama tinggal disini anak-anak sekolah yang usianya mulai dari 8 tahun sampai 12 tahun menyiapkan semuanya sendiri mulai dari masak, mencuci, persiapan sekolah hingga mencari lauk pauk untuk makan sehari-hari. Tak jarang Pak guru Atah menjemput anak-anak yang masih di pahumaan (ladang) dibawa orang tuanya, Pak Atah meminta izin agar anak didiknya bisa mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah. Mata pencaharian masyarakat suku Dayak meratus pada umumnya bertani, jarak yang jauh dari rumah sehingga mengharuskan meraka membawa anak-anak untuk tinggal diladang. Kondisi penerangan tempat tinggal anak sekolah dan tempat tinggal guru belum ada penerangan sama sekali, hanya menggukan pelita dan senter. Tantangan untuk sekolah begitu berat bagi anak-anak di Desa Aing Bantai mulai dari akses yang sulit dijangkau, fasilitas sekolah yang tidak mendukung dan kurangnya dorongan orang tua sehingga banyak yang gugur tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.