Itu Su Biasa e.... (end)

Penulis: Sri Hartati, 25 September 2022
image
Belajar bersama para murid di SD tempat penugasan

Berdasarkan cerita Pak Guru yang mengajar, sepanjang pengalaman beliau mengajar hampir 22 tahun lamanya, belum pernah ada muridnya yang melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang SMA setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar ini. Kebanyakan akan putus sekolah ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Dukungan dari orang tua untuk mendorong anaknya menempuh pendidikan juga dinilai sangat kurang. Kebanyakan anak dibawa oleh orang tuanya ke kampung bevak untuk mencari kayu gaharu dalam waktu yang lama. Akibatnya banyak anak yang melebihi umur produktif sekolah masih berada di bangku sekolah dasar, padahal seharusnya sudah menduduki bangku SMA atau Perguruan Tinggi.

Kesempatan mengajar di sekolah yang diberikan tentunya menjadi kesempatan untuk mengamati dan mempelajari sistem pendidikan di Papua khususnya di wilayah Asmat secara lebih dekat. Nyatanya, sebagian besar murid yang belajar di sekolah masih buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak dapat berhitung dengan benar. Murid yang ikut kegiatan belajar tidak banyak, dalam satu kelas biasanya diisi oleh beberapa murid saja. Maksimal 12 orang dalam satu kelas. Jam masuk sekolah sekitar pukul 07.00 WIT dan jam pulang maksimal pukul 11.00 WIT. Kurang lebih hanya 3,5 jam saja waktu yang digunakan untuk belajar mengajar. Hari efektif sekolah dari senin hingga Jumat, dimana hari Jumat diisi dengan kegiatan kebersihan membabat rumput di lingkungan sekitar sekolah. Waktu belajar yang sangat minim sekali.

Pengalaman saya ketika mengajar dengan waktu 3,5 jam saja dalam satu hari, kegiatan belajar yang dapat dilakukan tidak banyak. Biasanya kegiatan belajar dalam waktu tersebut hanya dapat digunakan untuk melatih menulis 2 atau 3 paragraf saja atau latihan perkalian untuk 5 orang murid saja. Menulis dengan sempurna kalimat dalam buku tulis sangat sulit mereka lakukan mengingat untuk membaca saja mereka tidak bisa.

           Untuk fasilitas sekolah yang didapat oleh para murid juga sangat minim sekali. Yang paling kontras adalah fasilitas lapangan sekolah yang berupa papan sudah lapuk sehingga tidak dapat dipakai untuk berkegiatan olah raga atau upacara bendera dan banyak fasilitas lainnya.

Seragam sekolah murid sangat jauh dari kata layak. Mereka datang ke sekolah tanpa menggunakan sepatu dan juga tas. Tak jarang mereka tidak memiliki buku atau pena untuk menulis ketika belajar, padahal dari info aparat kampung yang saya tanyai, setiap tahunnya ada dana kampung yang mereka berikan kepada pihak sekolah untuk biaya pendidikan anak- anak di sekolah. Sekolah Dasar tempat saya bertugas berdiri diantara dua kampung, sehingga dana kampung yang diterima oleh pihak sekolah juga diterima dari dua kampung tersebut. Jumlah yang diterima cukup banyak menurut saya dan tidak terdapat perubahan apa- apa pada bangunan dan fasilitas sekolah.

           Hal lain yang saya temukan selama menjadi pengajar di sekolah tersebut adalah sistem mengajar. Sistem belajar mengajar yang masih menggunakan cara lama. Seringnya murid dipukul secara kejam oleh guru bila melakukan kesalahan. Mungkin cara mendisiplinkan murid dengan cara ini sudah tidak dilakukan di sebagian besar kota- kota, namun cara ini masih sangat biasa dilakukan di kampung tempat saya bertugas. Yang lebih anehnya lagi, murid yang mendapat pukulan atau tamparan dari guru yang mengajar akan bangga menceritakan hal tersebut kepada teman- temannya yang lain ketika dia menerima perlakuan tersebut.

           Kurang lebih hampir 2 bulan saya ikut mengajar di Sekolah Dasar kampung penugasan. Kepala sekolah yang katanya bertugas di sekolah tersebut tidak kunjung datang ke kampung dan guru PNS yang bertugas di kampung sedang melakukan perjalanan pulang kampung. Namun, setelah kembalinya Pak Guru dari perjalanan ke kampungnya, kepala sekolah yang sudah hampir 4 bulan berada di kota Agats akhirnya datang ke kampung. Kehadiran saya dan teman Patriot yang ikut membantu mengajar di sekolah awalnya mendapat sambutan yang kurang baik dari kepala sekolah tersebut. Maka sejak dari situlah saya enggan untuk melanjutkan kegiatan mengajar di sekolah tersebut. Niat baik yang awalnya ingin saya lakukan ternyata dinilai sedemikian buruk oleh kepala sekolah tersebut. Kegiatan mengajar di sekolah berhenti saya lakukan, namun berlanjut di lingkungan rumah ketika selesai kegiatan belajar di sekolah. Jadi kegiatan belajar sambil bermain.

           Kurangnya tenaga pengajar di sekolah tersebut tidak diketahui penyebabnya. Namun dari cerita beberapa guru yang pernah mengajar di sekolah tersebut ada beberapa pengalaman mereka mengajar sebagai tenaga honorer dan tak kunjung digaji setelah mengajar enam bulan lamanya. Gaji akhirnya diterima setelah dilakukan protes ke dinas pendidikan Kabupaten Asmat. Dan banyak cerita- cerita lainnya dari guru yang saya temui dan sebelumnya pernah mengajar di sekolah dasar tersebut.

           Selain fakta- fakta di atas, ada juga fakta yang mencengangkan. Ya, fenomena ujian nasional sekolah. Sebelumnya saya ceritakan jumlah murid yang ikut kegiatan belajar mengajar sangat sedikit sekali karena sebagian besar anak dibawa orang tuanya untuk tinggal dibevak. Namun tidak ketika ujian nasional dilaksanakan. Pelaksanaan ujian nasional biasanya dilakukan di pusat distrik. Murid yang biasanya tidak terlihat mengikuti kegiatan belajar di sekolah bisa saja tiba- tiba datang dan mengikuti ujian nasional tersebut. Begitu juga dengan tenaga pengajar, mereka yang biasanya tidak berada di kampung untuk mengajar, tiba- tiba ada dan ikut mendampingi dalam pelaksanaan ujian nasional tersebut.

           Setelah menamatkan pendidikan di jenjang sekolah dasar, biasanya beberapa orang tua membawa anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP di pusat kota Agats. Dikarenakan fasilitas pendidikan berupa sekolah di kampung hanya sampai sekolah dasar saja yang tersedia. Namun lagi- lagi, kebanyakan dan sudah menjadi hal yang biasa terjadi pada anak perempuan yang melanjutkan pendidikan di kota Agats akan hamil. Mereka bersekolah di Agats dan tinggal di kediaman yang biasanya juga didatangi warga kampung ketika berkunjung ke Agats. Anak perempuan yang hamil tersebut otomatis tidak dapat melanjutkan pendidikannya dan berujung putus sekolah. Beberapa kasus yang pernah terjadi diantaranya dilakukan oleh laki- laki yang berasal dari kampung yang sama. Mereka memanfaatkan kepolosan dari anak perempuan tersebut untuk kepuasan seksual mereka semata. Miris sekali…..

Melalui program Patriot Energi ini bukan hanya elektrifikasi, tapi banyak fakta baru yang saya lihat. Salah satunya pendidikan di Timur Indonesia dimana hal yang baru saya lihat ternyata biasa dimata mereka yang lebih dahulu melihatnya. Sangat disayangkan, sebenarnya bukan tidak ada kesempatan buat mereka adik- adik yang ingin belajar. Tetapi cara, sistem dan oknum tertentulah yang membuat mereka tetap berada di lingkaran itu terus menerus. Tidak dapat keluar atau memang masih kurang usaha. Besar harapan kedepannya mereka mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana seharusnya…..

Salam buat teman- teman yang sedang berjuang untuk mengabdikan dirinya dalam perbaikan pendidikan di Indonesia Timur. Semangat, itu tidak mudah….