Menengok Batas Luar Nusantara

Penulis: Faizal Rohmiani, 02 March 2022
image
Eliasa, Kec. Selaru, KKT

Saat berjalan kita akan menemukan banyak hal, apakah itu sekedar sapaan ramah dari orang, pun nada tinggi yang keluar dari orang yang tidak kita kenal dan tentu banyak hal lainnya. Tapi yang jelas, dengan berjalan kita akan menemukan banyak hal diluar ekspektasi selama ini, yang tidak bisa kita dapat jika hanya membuka layar kotak sepanjang hari. Ya, tentu saja gawai, pasangan lengket yang terus menjajah diri kita tanpa kita sadari.


Masih ingat bagaimana awal mula kami memulai ekspedisi di Maluku Tenggara Barat atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT). Abi dan saya, dua patriot ditugaskan untuk survey PLTS di lima desa di KKT. Desa kedua yang kami jelajahi adalah desa Eliasa, salah satu batas terluar negeri ini. Teringat yang dikatakan sahabat patriot Desy, kita harus bersiap-siap menuju batas negeri, menuju yang tak terbatas sekalipun. Sungguh luar biasa, nikmat mana lagi yang akan kita dustakan dengan keajaiban yang luar biasa di setiap hari-hari kita.


***

“Kalau ingin ke Mercusuar berapa lama, mama?”, tanyaku pada Mama Ita, orang yang membantu menampung kami di desa Eliasa, memberikan kami makan tanpa sepeserpun yang kami keluarkan.


“Kalau naik ojek ya mungkin 15 menit, kalau jalan kaki setidaknya setengah jam lah Nona Icha”, jelasnya.


“Oh, tidak telalu jauh ya mama?”, tukas Abi.


“Ya, kalau untuk orang sini sih tidak Nyong. Memang kapan mau kesana, Nyong? Mending naik motor sa, cukup lima puluh ribu rupiah su sampai tempat”, jawab Mama dengan wajah sedikit bertanya-tanya.


“Kami inginnya siang ini Mama. Tapi seng tahu juga jadi kah seng”, jawabku mendengar pertanyaan Mama.


Siangpun tiba, kami memutuskan untuk jalan-jalan keliling kampung sebentar dan menuju pantai. Sesampai di pantai, kami bertemu beberapa orang yang sedang bekerja membuat kapal nelayan.


“Kira-kira kalau ke Mercusuar apakah jauh dari sini, Bapak?”, aku bertanya lagi tentang hal ini pada orang baru yang kutemui lagi.


“Ya jauh Nona, kalau mau naik ojek sa. Kalau Nona melewati pantai ini, harus berjalan menyusuri bukit ini sampai di balik bukit baru disitu mercusuar ada”, jawabnya.


Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki dan menikmati perjalanan sambal mencoba menyapa orang-orang yang hilir mudik melewati jalan setapak menuju Mercusuar. Sampai di tengah jalan, jalan itu ternyata bercabang.


“Alamaaaak, jalan mana yang harus kita tempuh, Bi? Belum apa-apa jalan sudah bercabang, gimana dengan hati ya?”, tanyaku sambil terkekeh. Antara bingung dan bercanda harus tetap sinkron kan, kataku dalam hati. Dan tentu saja Abi tertawa dulu sebelum menjawab pertanyaanku.


“Coba lihat itu Mbak, disana sepertinya ada orang yang sedang membuka ladang. Ada asap! Ayeee, aku peta aku peta!”, jawab Abi sambil bersenda gurau tentang Dora, the explorer, kartun di jaman kecil kami. Eh, tapi kami juga masih pantas disebut anak kecil sih. Hahaa


***

“Permisi Bapak, jalan menuju Mercusuar sebelah mana ya Bapak? Kami ingin jalan-jalan kesana”, tanya Abi pada seorang Bapak-bapak yang sedang membuka ladang karena musim penghujan akan segera tiba, yang selanjutnya memperkenalkan dirinya dengan nama Bapak Yoel. Melihat kami yang berwajah bingung, dan mungkin terlihat seperti anak ayam yang kehilangan induknya, Bapak Yoel memutuskan untuk mengantar kami sampai di Mercusuar.


“Bapak, maafkan kami karena merepotkan Bapak”, sahutku kepada Bapak Yoel yang menemani kami sambil bercerita tentang desa Eliasa.


Seng papa Nona, sa juga punya anak yang merantau. Sa yakin juga, kalau bisa membantu, nanti akan ada bantuan dan kebaikan lain untuk anak cucu sa di perantauan. Seng perlu minta maaf”, jawab lelaki paruh baya itu sembari mengelap air keringat di keningnya karena panasnya pulau yang luar biasa.


“Terima kasih banyak Bapak! Bapak, kalau semisal kita mengambil kelapa di dekat pantai seperti ini apakah diperbolehkan Bapak? Kami lupa seng bawa minum”, tanyaku lagi sambil merasa bodoh karena kelalaian persiapan kami. Karena ya memang, awalnya kami kira hanya akan berjalan berkeliling desa saja.


“Aduh, sayangnya kelapa sa seng ada yang muda, Nona. Sebentar Nona dan Nyong pergi jalan lurus dulu. Bapak coba jalan ke kiri, nanti Bapak susul Nona dan Nyong ke Mercusuar ya”, jelas Bapak Yoel kepada kami.


“Baik Bapak”, jawab Abi dengan simpul melengkung di wajahnya.


Beberapa menit setelah kami melanjutkan perjalanan kami, sampailah kami di Mercusuar, salah satu batas nusantara, Indonesia tercinta.


“Yeaaaay! Akhirnya sampai juga ya Bi. Meskipun katanya cuma setengah jam yang berakhir satu jam lebih”, kataku pada Abi sambil tertawa lepas.


“Iya Mbak! Untung saja bertemu dengan Bapak Yoel di jalan ya. Oh iya, tapi kemana Bapak Yoel tadi ya?”, tanya Abi padaku.


“Waduh, nggak tahu juga ya. Kita tunggu saja, mungkin nanti jadi nyusul kesini. Kita duduk-duduk saja dulu sambil menikmati hembusan angin di batas negeri. Ingat, depan kita itu Australia!”, jawabku dengan nada riang gembira. Selang beberapa menit, Bapak Yoel datang dengan membawa beberapa kelapa muda di pikulannya.


“Ya ampun, Bapak! Kenapa Bapak repot-repot sekali mencarikan kelapa ini untuk kami. Kami jadi merepotkan Bapak ini”, jawabku kali ini dengan hati yang benar-benar merasa bersalah karena di tengah terik matahari beliau mencarikan kelapa muda untuk kami minum.


“Ah, seng! Seng merepotkan Nona! Bapak su haus, jadi sekalian mencari ini untuk kita minum disini”, jawab Bapak Yoel dengan senyum lebar di pipinya.


Dan ya, akhir kunjungan ke Mercusuar di desa Eliasa ini, kami nikmati dengan segarnya buah kelapa di bawah pondok yang ditemani hembusan angin dari pesisir pantai. Kami sekarang menyadari, Nusantara ini tidak hanya indah karena keindahan alamnya, tapi lebih indah karena keindahan hati di setiap orangnya! Salam sayang dari batas luar nusantara!

-- I N D O N E S I A!