Itu Su Biasa e.... (Part 1)

Penulis: Sri Hartati, 24 September 2022
image
Bangunan Sekolah SD Inpres Pupis dan Pak Ignas

Tulis tidak ya? Ah males ah, ini udah hal biasa katanya. Di luar dari persoalan EBT nih.

Lama- lama mengganggu pikiran dan gemes juga buat menuliskannya walau tidak berkaitan dengan EBT dan fokus tujuan program Patriot Energi.

 

Cerita bermula saat saya melakukan perjalanan survei ke kampung Pupis, Distrik Sawa Erma Kabupaten Asmat.

Perlahan-lahan saya melangkahkan kaki melewati jalanan berupa jembatan kayu yang beberapa diantaranya lapuk bahkan ada jalan yang hanya berupa selembar kayu saja. Bukan tanpa alasan, sebagian besar kayu untuk jembatan habis dijadikan kayu bakar oleh warga, tutur Pak Ignas yang menemani saya berjalan melihat kampung. Kampung Pupis yang berada di distrik Sawa Erma ini adalah sebuah kampung kecil yang memiliki jembatan jalan hanya berkisar 200 meter saja.

Langkah kaki saya terhenti ketika melihat sebuah bangunan dengan sebuah lapangan luas dari kayu yang juga sudah sangat lapuk. Bangunan tersebut adalah bangunan sekolah SD Inpres Pupis setelah saya baca plang yang tertulis di depan pagar bangunan tersebut. Saya pun sontak meminta Pak Ignas untuk menemani melihat sekolah tersebut dari dekat. Kedatangan saya awalnya disambut baik oleh seorang Bapak yang belakangan saya tahu ternyata beliau adalah guru yang bertugas di SD Inpres Pupis tersebut. Namun berbeda ketika dia melihat Pak Ignas. Pak Guru tersebut langsung marah,mengeluarkan kata yang tidak baik dari mulutnya yang seorang pendidik dan sempat mengajak adu jotos karena Pak Ignas tidak menanggapi ocehan beliau.

Kembalinya dari kampung tersebut, saya menanyakan perihal yang terjadi di sekolah tadi. Ternyata kemarahan Pak Guru tersebut disebabkan oleh enam orang muridnya yang belajar di SD Inpres Pupis dibawa oleh rekan Pak Ignas yang biasa melakukan kegiatan pelayanan ke kampung Pupis. Enam orang muridnya dibawa dan dipindah sekolahkan ke Sekolah Satu Atap di pusat Distrik Sawa Erma. Pemindahan enam orang anak tersebut ke sekolah Satu Atap juga sebelumnya melalui izin orang tua anak terlebih dahulu dan beberapa tes diantaranya tes baca dan tulis. Belakangan saya baru tahu bahwa Pak Guru yang tadi marah- marah ternyata baru beberapa hari lalu tiba di kampung Pupis setelah hampir 5 tahun tidak berada di kampung dan malah lebih memilih tinggal di kota Agats. Pak Ignas dan rekannya adalah orang- orang yang dipekerjakan oleh Keuskupan Agats melalui Pater Vinc seorang Pastor yang sudah 40 tahun mengabdi di Distrik Sawa Erma. Mereka sering menemui fakta bahwa guru yang seharusnya berada di kampung sesuai surat tugas malah tidak pernah berada di kampung untuk mengajar murid dan malah tinggal di kota Agats. Namun untuk hak seperti gaji dan tunjangan tetap mereka terima walau tidak melaksanakan tugas mereka seperti seharusnya.

Dan benar apa yang Pak Ignas dan rekannya katakan, kejadian seperti di kampung Pupis masih saya temui di beberapa kampung tempat saya dan rekan Patriot lainnya melakukan survei selanjutnya. Bangunan sekolah ada, murid yang ingin bersekolah juga ada, hanya tenaga pengajar saja yang tidak ada. Setelah bertanya langsung dengan aparat kampung, faktanya ada tenaga pengajar yang berstatus PNS dan seharusnya bertugas di sekolah tersebut. Namun, mereka tidak pernah datang untuk mengajar dan sering ditemukan berada di kota Agats. Hampir semua kampung yang saya datangi untuk survei awal memiliki bangunan sekolah yang akhirnya lapuk dan hampir roboh karena tidak pernah dipakai untuk kegiatan belajar mengajar.

Fakta yang saya temukan di lapangan tersebut saya curahkan dalam InstaStory akun Instagram pribadi saya untuk tujuan diskusi. Postingan instastory tersebut mendapat beberapa tanggapan dari beberapa teman. Tanggapan dari teman Patriot yang juga sedang bertugas di wilayah timur seperti Papua, tanggapan dari teman yang sebelumnya pernah melakukan kegiatan relawan di Papua, tanggapan dari teman yang pernah melakukan penelitian terkait pendidikan di wilayah 3T, bahkan tanggapan dari teman yang sedang berjuang dalam meningkatkan pendidikan di wilayah Timur Indonesia. Ya, tanggapan mereka adalah “sama, disini juga begitu”, atau “itu sudah hal biasa di Papua”. Saya makin terkaget dengan berbagai tanggapan tersebut. Hahhh…hal yang biasa!!

Sebelumnya saya pernah membaca buku yang saya ambil secara acak di rak buku Pak Frans, temannya Pak Ignas di rumah kediaman mereka di Distrik Sawa Erma. Saya lupa judul bukunya, namun dalam waktu singkat saya baca buku yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi seorang guru yang bertugas sebagai pendidik dari sebuah sekolah di Asmat. Dalam buku tersebut, penulis menuliskan fakta yang ia temukan di lapangan. Tentang guru yang tidak pernah berada di tempat penugasan namun tetap menerima hak mereka berupa gaji dan tunjangan, tentang guru honorer yang bekerja sesuai kewajiban namun tidak menerima haknya, atau adanya dana BOS untuk pendidikan yang tetap mengalir namun tidak berdampak pada pembangunan/fasilitas sekolah dan penempatan penugasan berdasarkan koneksi di pemerintahan kabupaten Asmat. Buku tersebut diterbitkan sejak tahun 2008 lalu dan saya baca pada desember 2021. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan yang terjadi bahkan setelah fakta- fakta tersebut dituliskan dan diterbitkan dalam sebuah buku. Padahal dari latar belakang penulisan buku tersebut, penulis menjelaskan banyaknya ancaman yang dia dapatkan dalam proses penulisan buku tersebut. Nyatanya membawa fakta tersebut ke permukaan melalui buku tidak mengubah apa pun pada sistem pendidikan di Kabupaten Asmat ini setelah saya bandingkan dengan yang baru- baru ini saya temui di lapangan. Tidak ada perubahan, masih sama…..

Di kampung tempat saya live in dan bertugas sebagai Patriot Energi, saya dan rekan Patriot diminta untuk membantu seorang Guru untuk mengajar disebuah sekolah dasar. Di sekolah tersebut hanya terdapat seorang kepala sekolah dan seorang guru PNS saja. Pada saat kedatangan kami ke kampung penugasan, kepala sekolah sedang tidak berada di kampung. Infonya beliau sedang berada di kota Agats untuk keperluan absensi. Tentunya satu orang guru saja akan sangat kewalahan untuk mengajar murid- murid dari kelas 1 sampai 6 SD. Dengan senang hati kami menyanggupi permintaan tersebut. Kegiatan belajar mengajar yang akan saya lakukan diharapkan sebagai wadah untuk melakukan pendekatan awal dengan warga melalui anak- anak mereka.



....lanjut ke part 2.....