Catatan Tentang Masyeta

Penulis: Qumi Lailatul Fajri, 23 September 2022
image
Panen dari kebun Tete Mikar

Dari sekian banyak kampung yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni (beberapa telah ku datangi dan kenal penduduknya) entah kenapa pilihanku justru jatuh di Kampung Masyeta. Sebuah kampung di wilayah pegunungan yang sepintas biasa-biasa saja, alias tidak ada istimewa-istimewanya.

Masyeta bukanlah kampung pertama yang ku pilih untuk jadi tempat live-in. Setelah aku kesulitan mencari akses menuju Kampung Igomu, aku menyerah dan memutuskan untuk tinggal di Masyeta. Sebuah kampung di wilayah pegunungan yang dikelilingi Kawasan hutan tropis.

Seperti lazimnya kampung-kampung lain di dataran Papua, untuk menuju Masyeta memerlukan waktu yang tidak sebentar dan biaya yang tidak murah. Yakni sekitar 4 jam dan biaya sebesar 750ribu dari kota Kabupaten Teluk Bintuni.

Selama ini caraku (dan mungkin kita semua) mendeskripsikan masyarakat Papua adalah : hitam kulitnya keriting rambutnya. Maka setelah 7 bulan menetap di Masyeta dan 3 bulan berkeliling kampung lainnya, baitnya akan sedikit lebih panjang, yakni : hitam kulitnya keriting rambutnya, manis senyumnya, ramah orangnya.

Banyak hal-hal baru yang kutemui dan kupelajari selama tinggal di Masyeta, tidak jarang merupakan hal-hal aneh bin ajaib yang tidak pernah ku sangka-sangka. Misalnya kepercayaan masyarakat tentang Suanggi yang sangat mandarah daging.

 “Ibu ko jangan berjalan sendiri, nanti suanggi bunuh”

Atau seorang Tete (kakek) yang minta ditemani cucunya jalan ke kampung sebelah karena takut jika berjalan sendiri akan dibunuh suanggi. Padahal kalau suanggi bunuh pun sang cucu yang baru berumur 4 tahun bisa apa?

Atau seorang kerabat yang mengamuk di rumah duka untuk mengusir suanggi, padahal kerabatnya meninggal karena penyakit yang bisa dijelaskan dari sisi medis.

Atau seorang ibu hamil yang menolak melahirkan di puskesmas karena takut suanggi.

Dan banyak cerita-cerita lain tentang suanggi yang sangat mengakar di kehidupan sehari-hari masyarakat.

Selain tentang suanggi, budaya masyarakat yang tak kalah kentalnya adalah tentang goyang. Dalam setiap perayaan apapun (kelahiran bayi, penamaan bayi, pernikahan, kemenangan lomba dll) akan diikuti dengan acara dansa/goyang sepanjang malam sampai pagi. Tete-tete, bapak-bapak, mama-mama hingga anak-anak sangat lihai dalam hal ini. Mereka mampu terjaga sepanjang malam hingga pagi untuk bergoyang.

Peranku sebagai guru sedikit banyak memberiku kesitimewaan tersendiri. Dekat dengan murid-murid memberiku akses untuk mendekat dengan orang tua dan masyarakat.

Selama 7 bulan tinggal di Masyeta, tidak pernah satu hari-pun aku kekurangan makanan. Selain berbekal bahan makan yang ku bawa dari kota (beras dan bahan pokok lainnya), hampir setiap hari akan ada masyarakat yang membawakanku hasil kebun, seringnya berupa daun singkong (kasbi), daun katuk, sayur lilin, bayam, kangkong, cabai, jagung, singkong, ubi, pisang, labu dan hasil kebun lainnya. Hal ini dilakukannya secara sukarela dan tanpa ku minta. Bisa jadi, ini merupakan salah satu privilege yang ku dapatkan sebagai guru. 

 

Masyeta bak bawang yang kulitnya berlapis-lapis, semakin lama aku tinggal semakin banyak ku temukan keistimewaan-keistimewaan di dalamnya. Maka aku akan mengenang Masyeta sebagai kampung dengan keramah-tamahan penduduknya yang luar biasa.