Ayah Asuh

Penulis: Siti Nurjannah, 19 September 2022
image
Ayah Asuh

Sekian banyak orang yang datang dan pergi dalam hidup, salah satunya dipertemukan dengan Isak Iyai yang kami anggap sebagai ayah asuh. Menurut pandangan saya pribadi masyarakat sangat lugu dan apa adanya. Sedikit kemunafikan yang bisa ditemukan disini sehingga yang terjadi adalah yang jahat sungguh jahat dan yang baik sangat baik. Adapun yang jahat sudah pasti sudah ter kontaminasi oleh hal-hal negatif yang diserap dari luar tapi tidak bisa di filter dengan baik.

Bapak Isak penuh kasih sayang dan hormat. Apa yang beliau makan harus dimakan pula oleh kami. Suatu hari beliau mengomel pada kontraktor jalan yang juga menginap di rumah,

“kamu ini baru dua hari tinggal disini tiap hari minta dipotong kan ayam, lihat ibu-ibu ini tidak pernah minta apa-apa”.

Padahal kami dijamu daging sapi saat acara gereja, bapak tidak mau melihat kami kelaparan di rumahnya. Kami kesulitan untuk membawa ayam ke kampung karena bapak tidak bisa makan ayam es, ayam es itu ayam yang sudah dibekukan dan disimpan dalam freezer sementara dicari kemana pun seantero Kab. Dogiyai tidak akan ada penjual ayam potong.

Tim menginap di kampung untuk membantu survey debit air Kali Teu. Bapak membawakan ayam kampung yang harus dipotong sendiri karena mengetahui kalau kami muslim. Saya mengambil tugas mencabuti dan memotong ayam yang sudah disembelih terlebih dahulu oleh Hanif dan Sukma. Kemudian mulai mempersiapkan makan malam dengan bumbu utama royco dan rica yang sudah dicobek entah kapan, rica cobek ini sangat banyak disimpan dalam wadah tertutup yang kalau saya perkirakan bisa dipakai untuk satu minggu. Sukma dan Elis sibuk menyiapkan bawang dan bumbu ayam, setelah ayam matang sayur jipan dan pakis yang sudah dipetik oleh Dita. Semua diserahkan kepada mama setelah bahan-bahan siap.

Mama memasak 2 kali sehari yaitu pada pagi hari bakar ubi untuk makan pagi dan disimpan di noken tiap anggota keluarga untuk makan saat lapar di siang hari, lalu masak di malam hari tergantung bahan makanan. Jika ada beras maka akan memasak nasi, tapi jika tidak maka makan seadanya saja tutur mama. Makanya kami dilarang untuk mengurangi porsi makanan yang sudah diberikan karena sudah menjadi adat semua harus dibagi rata dan harus bersyukur karena makan nasi itu tidak mesti setiap hari. Kalau masih banyak menawar maka Bapak mulai memarahi kami lagi.

Mama adalah kepala dapur yang mengatur cara memasak hingga pembagian jatah makanan. Walaupun sudah protes agar mama mengurangi jatah nasi yang ada di piring, tetap saja masih banyak. Porsi makan orang dewasa maupun anak sangat banyak. Masyarakat menjadi lebih konsumtif karena harus membeli beras, padahal ada makanan yang tinggal dipanen dan menjadi komoditas utama masyarakat yakni ubi dan keladi. Terlepas dari itu semua apakah masyarakat tidak boleh menikmati beras yang kita anggap nikmat dan merasa belum makan kalau belum makan nasi? Toh jaman dulu nenek moyang kita makanan pokoknya juga dari umbi-umbian kenapa sekarang berubah jadi beras?