PLTA Mamberamo, untuk siapa? (Part 2 & 3)

Penulis: Billy Yansa Latief Imama, 16 September 2022
image
Singkapan Batubara Sepanjang Sungai Mamberamo

Part 2; Isu PLTA Mamberamo Raya

Isu terhadap adanya rencana pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Mamberamo di Provinsi Papua mulai mencuat pada tahun 1997 – 1999 [2]. Saat ini isu dan informasi perihal PLTA ini bahkan sudah beredar luas ke kalangan masyarakat lokal, hal ini di karena masyarakat sudah beberapa kali melihat secara langsung kegiatan survei lapangan yang dilakukan, baik oleh pihak pemerintah hingga investor asing.

Krisis ekonomi pada tahun 1998 menyebapkan rencana pengembangan PLTA hingga kini masih dalam tahap kajian kelayakan. Segala jurus dan upaya telah diusahakan oleh pemerintah Indonesia guna merealisasikan rencana tersebut dari penerbitan undang-undang, peraturan presiden, hingga pencarian investor. Pada tahun 2012 perusahaan asal Tiongkok, Haenergy Holding Company, sudah melakukan penelitian dan tinjauan lapangan, hingga pada akhir 2014 draf MoU sudah mulai dibuat [3]. Selain itu Fortescue Metals Grup, perusahaan asal Australia pada tahun 2020 juga dikaitkan akan menjadi investor hydropower atau PLTA dengan nilai investasi hingga Rp 50 triliun dan 20 GW potensi pengembangan [4].

Jumlah penduduk di Kabupaten Mambaramo Raya hanya sebanyak 24.086 jiwa dengan luas daerah mencapai 23.814 km2 sehingga memiliki kepadatan penduduk kurang lebih 1 jiwa/km2. Hingga tahun 2018 daya listrik terpasang hanya 5,9 MW yang hanya tersebar pada 4 kecamatan dari 9 kecamatan yang ada [5]. Dari data tersebut terbukti bahwa rasio elektrifikasi dan kebutuhan listrik di Kabupaten Mamberamo Raya masih sangat rendah. Hal ini menandakan bahwa proyek pembangunan PLTA sendiri bukan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat melainkan membidik kegiatan penambangan dan pembangunan smelter [6].

Part 3; Kepentingan Ekonomi dan Korporasi

Sejak tahun 1990, atas dasar pemerataan pembangunan dan ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI), pemerintah mulai berupaya untuk menggenjot pembangunan di wilayah KTI. Menurut pemerintah adanya ketidakseimbangan ini membuat tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi di wilayah KTI lebih rendah bila dibandingkan dengan wilyah KBI. Kondisi pada tahun 1995 menunjukan luas wilayah KIT yang mencapai 68% dari total wilayah Indonesia hanya menyumbang pendapatan regional sebesar 17% dari total pendapatan Indonesia [1]. Lagi-lagi sejauh ini pemerintah selalu menempatkan taraf ekonomi sebagai acuan utama dalam menentukan suatu daerah sejahtera atau tidak tanpa melihat dan menimbang kajian lain seperti sosial dan budaya setempat. Bagi pemerintah sendiri pembangunan infrastruktur dan ekonomi adalah resep manjur bagi kesejahteraan orang asli Papua [7].

Seakan membenarkan anggapan bahwa selama ini pembangunan di Papua selalu mementingkan kepentingan “korporasi” dan mengincar keuntungan ekonomi semata. Kajian BPPT pada tahun 2012, menjelaskan bahwa PLTA akan menjadi sumber pasokan listrik untuk industri alumunium dengan keuntungan tahunan ditaksir hingga Rp 1,34 triliun [2]. Kawasan di Kabupaten Mamberamo Raya dan Sarmi nantinya akan dikembangkan lebih lanjut lagi menjadi KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) dengan lokasi smelter ada di Sarmi. Segala kemudahan akan diberikan pada investor dengan adanya KEK, baik di bidang fiskal maupun nonfiskal, seperti kemudahan birokrasi, pengaturan khusus terkait ketenagakerjaan dan keimigrasian, bahkan hingga ketertiban di dalam kawasan. Hal yang cukup mengerikan mengingat komplotan oligarki akan semakin mudah menjalankan mesin uang mereka bahkan tega merebut tanah adat masyarakat setempat.

Industri Alumunium bukan lah satu-satunya alasan dibalik rencana pengembangan PLTA Mamberamo. Industri lain yang akan tumbuh adalah Industri Baja, Peleburan Tembaga (Emas dan Perak), Industri Petrokimia, Industri Pulp & Kertas, dan Pelabuhan. Estimasi pendapatan tahunan dari semua industri tersebut mencapai Rp 84,2 triliun [1]. Estimasi pendapatan tahunan tersebut terbilang fantastis, bahkan melebihi total Dana Otsus Provinsi Papua dari tahun 2002 hingga 2021 sebesar Rp 75,71 triliun [8].

DANA-OTSUS-PAPUA

Perkembangan Dana Otsus Papua dan Papua Barat (sumber; emedia.dpr.go.id)

Dugaan lain adalah adanya rencana pembukaan tambang Nikel di Kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloop di Jayapura, yang berakhir konflik pada tahun 2015 -2017. Serta adanya ketertarikan terhadap deposit batubara yang tersebar di sepanjang DAS Mamberamo, hingga mengancam kawasan Suaka Margasatwa Foja-Mamberamo [9]. Tidak terkecuali deforestasi melalui kegiatan pembukaan lahan perkebunan sawit dan logging yang sudah lama terjadi dibeberapa lokasi.