Banjir Bukan Halangan

Penulis: Nurul Pratiwiningrum, 08 September 2022
image
Perjalanan antar dusun

Banjir Bukan Halangan


(Perjalanan antar dusun)

Ternyata dusun pertama yang aku kunjungi sangat berarti untuk perjalananku selanjutnya. Dusun pertama adalah sebuah gambaran umum lingkungan yang selanjutnya akan kami datangi. Di perjalanan kali ini, menuju desa selanjutnya rasanya hatiku udah lebih lapang dan tenang. Haha. Beberapa kata kunci yang akan menjadi hal yang wajar dalam hidupku beberapa waktu kedepan adalah banjir, basah, rumah panggung, danau, sampan. Haha. Artinya bisa jadi aku ikut tinggal di rumah yang kena banjir, tentu saja gak boleh ngeluh kalo tiap hari jalan di daerah banjir, harus lebih hati-hati, gak boleh keterlaluan jijik sama hal-hal yang hanya ada di dalam pikiranku. Buatku ini agak sulit sih wkwk. Tapi yaaa udah lah yaaa ayok kita coba. 

Demi menghemat biaya dan waktu, aku sama Bagus maraton surveynya biar bisa seefektif mungkin. Karena biaya naik speed tuh gak murah, bensin yang dibutuhkan banyak banget padahal Cuma untuk perjalanan singkat. Kita butuh sekitar 15liter PP untuk perjalanan sekitar 1 jam. Ongkos ini dengan kondisi paling ideal, penumpang dan barang yang dibawa gak banyak. Kalau penumpang dan barang bawaan banyak, bisa lebih lama perjalanannya dan tentu saja bensin yang dibutuhkan jauh lebih banyak.

Kondisi sebagian besar desa masih banjir sehingga kami harus menggunakan speed atau sampan untuk survey ke rumah-rumah. Celanaku hampir gak pernah kering tiap kali aku keluar rumah. Hidupku beneran no maden sih ini wkwk. Bawa carrier besar dan nginep di berbagai rumah penduduk. Di situasi ini jadi kerasa banget betapa berharganya waktu pelatihan 40 hari sebelum penempatan disini. Terutama sesi survival haha. Indah untuk dikenang tapi tidak untuk diulang. Wkwk. Kemana-mana bawa carier, selama 5 hari gak mandi sama sekali, baju dari kering basah sampai kemudian kering lagi. Setelah melewati itu semua, hari-hariku di penempatan ini jadi terasa biasa aja. Ya gak biasa banget sih kalo buat aku wkwk, yhaaa gimanaa doonks menjadi perempuan dengan kebutuhan khusus (baca : banyak drama dan gampang sakit-sakitan) sungguh luar biasa rasanya. Lebay bet sih yaaa. Haha.

Setelah Desa Gudang Hilir, kami menuju Desa Sekulat. Lokasinya masih sama, desa di atas air. Masyarakat tinggal di rumah panggung yang tiangnya tinggi-tinggi. Tinggi tiang rumahnya sekitar 4-5mdp tanah. Jalan yang menghubungkan antar rumah bukan jalan aspal, tapi jembatan kayu atau orang menyebutnya gertak. Desa Sekulat adalah desa terbesar dari 5 desa di atas danau yang harus aku kunjungi. Jumlah penduduk dari data terakhir dari perangkat desa ada sekitar 1200an penduduk. Kata orang-orang di desa sebelum ini, desa Sekulat terkenal dengan banyaknya anak kecil. Angka kelahiran di desa ini yang paling tinggi diantara 5 desa lainnya.

(Pasar kebanjiran)

Untuk menyelesaikan survey semua kondisi LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) di desa ini, kami menginap selama 3 malam sambil menunggu konfirmasi dari kepala desa selanjutnya, desa mana yang bisa kami kunjungi selanjutnya. Konfirmasi ini membutuhkan waktu cukup lama karena sinyal yang tidak bagus, bahkan tidak ada sama sekali di beberapa titik.  

Akhirnya, desa yang memberikan informasi untuk dapat dikunjungi adalah Desa Nanga Leboyan. Desa selanjutnya setelah Sekulat adalah desa Nanga Leboyan. Desa ini adalah desa terbesar kedua setelah desa Sekulat. Secara selintas tidak jauh berbeda dengan desa Sekulat. Jumlah penduduk disini sekitar 800an jiwa dan merupakan desa terbesar kedua setelah Desa Sekulat. Ada 3 dusun yang terletak di 2 wilayah yang berbeda, kami menginap selama 2 malam di desa ini untuk menyelesaikan survey ke semua rumah yang ada di desa ini. Kami mengunjungi setiap rumah yang menjadi penerima bantuan LTSHE. Banjir yang sedang terjadi tidak menjadi alasan untuk terus jalan karena ternyata banjir seperti ini bisa berlangsung selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. 

(Bangunan Sekolah Terendam Banjir)

Desa keempat yang kami datangi adalah desa Semalah. Desa ini terletak paling ujung dari kecamatan Selimbau dan berbatasan langsung dengan kecamatan Batang Lupar. Desa Semalah masih sama letaknya di atas danau dan masih bagian dari Taman Nasional Danau Sentarum. Desa semalah adalah desa yang sebelumnya menjadi tempat Indonesia Mengajar, sehingga pertemuan singkat dan interaksi singkat saya di desa itu menjadi lebih mudah karena orang di desa sudah tidak asing dengan orang-orang baru seperti kami. Desa Semalah adalah yang paling kecil jika dibandingkan dengan desa-desa sebelumnya. Sehingga survey dapat kami selesaikan selama sehari. Kami harus naik sampan untuk berkunjung ke rumah-rumah warga desa karena banjir di Desa semalah ini yang paling parah diantara semua desa yang telah kami kunjungi sebelumnya. Untuk kali pertama di desa ini, aku menggunakan WC di pinggir sungai untuk buang air. Wkwk. Dikarenakan banjir, sehingga kamar mandi di rumah yang kami tumpangi tidak dapat digunakan karena terendam air. 

Keempat desa tersebut kami kunjungi dalam keadaan banjir. Sejak di Desa Sekulat, Nanga Leboyan, dan Semalah, kami harus menaiki sampan untuk berkunjung ke setiap rumah karena kami tidak bisa melalui jalan yang semuanya sudah terendm banjir. Banjir bukan menjadi masalah serius buat orang-orang di desa di atas danau. Banjir seakan sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat. Dalam keadaan rumah terendam banjir aktivitas masyarakat tetap berjalan seperti biasanya. Tentu kehidupan jadi lebih susah karena banjir membuat ikan sulit untuk di dapatkan. Tapi bukan berarti tidak ada sama sekali, hanya saja lebih sulit mendapatkan ikan saat masa banjir. 

Masih ada 2 desa yang harus kami datangi. Namun karena sudah menjelang akhir bulan sehingga kami memutuskan untuk kembali ke ibukota kabupaten baru di lanjutkan menuju 2 desa terakhir. 1 desa di atas danau dan 1 desa lagi di pinggir sungai kapuas. 

(Berenang di Depan Rumah yang Banjir)