GELAP

Penulis: Nurul Pratiwiningrum, 08 September 2022
image
sunset

Gelap

“Jangan takut kepada gelap. Gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap gelap ada terang meski hanya secercah, meski hanya diujung lorong. Jangan sampai kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan, keputusasaan, dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman menguasai kita.” (Laut Bercerita)

Kalimat ini jadi bikin emosi sih kalo yang denger orang di desa ini. Yaaa secaraaa selama ini hidup disini hanya ada gelap. Kenapa gak boleh takut sama gelap? Sedangkan gelap disini kayak ga ada ujungnya. Yaaa mungkin emang gak takut sih yaa, tapi bukan kemudian gak butuh. Sampai 2022 ini bahkan belum tau kapan akan ada terang di desa ini. 

A group of people in a room

Description automatically generated with medium confidence

(Berkunjung ke Rumah Tetangga)

Rasanya pengen ngomong kalimat itu ke warga desa. Haha. Etapi bisa jadi abis itu aku diusir sih dari desa ini. Wkwk. Kalimat itu mungkin jadi berasa indah dan dalam untuk aku yang sejak lahir, tumbuh, dan besar di daerah yang terang benderang. Jadi ketika gelap, maka langsung merasa takut dan merasa kelam. Ya karena semua sudah terbiasa dalam keadaan terang, maka ketika gelap menyapa, masih ada optimisme bahwa cepat atau lambat akan terang kembali. Sedang orang-orang di desa ini sejak lahir gak pernah terang. Kebayang gak sih hidup di atas danau dan di tengah hutan kalimantan. Gelap. Warga desa disini bersahabat dengan gelap karena memang gak ada pilihan lain selain menerima kegelapan ini. 

2022 dan masih tidak ada kabar desa ini akan terang. Gelap memang bagian dari kehidupan sehari-hari, namun itu tidak kemudian melupakan bahwa gelap ini menyebalkan dan menyulitkan. Nah selama ini bisa menjalani hidup dengan baik, apa yang sebenernya dirisaukan? Lalu menjalani hidup dengan baik itu maksudnya gimana? Sebenernya butuh gak sih terang disini? 

Hidup bersama warga desa disini, rasanya jadi mempertanyakan kembali makna adil. Apakah desa-desa ini memang sulit untuk dibangun listrik ataukah karena semua pihak yang mempunyai wewenang bersepakat bahwa desa-desa di lokasi 4T ini memang harus menerima hidup dengan kondisi seperti ini. *suudzon bangeet yaaa bund. 

(Mengobrol dengan warga)


(Membuat Kerupuk Basah untuk Acara Lamaran Anak Kepala Desa)


Pada kesempatan obrolan yang lain, ketika aku tanya, dengan segala kesulitan dan ketidaknyamanan yang di rasakan ketika tinggal disini, kenapa gak memilih untuk keluar dan tinggal di “darat”? dan jawaban sebagian besar mereka adalah karena disinilah mereka punya pekerjaan. Di tempat ini, betapapun sulit karena gak ada listrik, tapi ikannya banyak. Konon dulu pada awal warga mulai menempati desa ini adalah karena tadinya hanya mencari ikan di danau kemudian malas untuk kembali ke darat dan bikin rumah sementara di pinggiran sungai leboyan ini. Hal itu terjadi sejak tahun 1800an. Sejak saat itu orang-orang yang mencari ikan di daerah sekitar sungai leboyan ini seringkali memilih untuk tinggal sementara di rumah-rumah di pinggir sungai ini. 

Makin lama, orang-orang yang membuat rumah sementara di pinggiran sungai ini membawa serta keluarganya. Banyak orang yang melakukan hal itu hingga akhirnya terbentuklah sebuah desa. Tadinya rukun nelayan kemudian di sahkan menjadi desa dan sudah mendapatkan dana desa. 

Hingga saat ini ada sekitar 800an jiwa yang tinggal d desa Nanga Leboyan. Desa di atas danau sentarum dan di pinggir sungai Leboyan. Desa di atas danau ini lokasinya mengalami 2 kondisi. Jika musim kemarau, maka air hanya ada di sungai leboyan, sedangkan pada musim penghujan, air sampai di pemukiman, sehingga rumah disini dibangun dalam bentuk rumah panggung dengan tinggi tiang sekitar 4-5 m diatas permukaan tanah.

Jadi, sebenernya adil itu gimana sih? Wkwk. *krik krik krik