Tangis Wani Nabo di Hari Kemerdekaan

Penulis: Alvin Putra Sisdwinugraha, 17 August 2022
image
Masyarakat Kampung Samurukie berjalan mengantar jenazah ke pemakaman umum.

Bicara kemerdekaan memang bukan barang mudah bagi saya, karena hanya berkorelasi dengan upacara bendera sebagai sebuah momentum. Sebagai orang yang malas berpanas-panasan mengikuti upacara bendera sedari kecil, perayaan 17 Agustus setiap tahunnya rasanya seperti formalitas saja. Apalagi selama 5 tahun duduk di bangku perkuliahan, saya alpa dalam mengikuti upacara bendera di kampus. Toh, tidak diwajibkan juga oleh pihak universitas. Memang kelakuan masyarakat kelas menengah ibukota macam saya ini kadang sering membuat orang bergeleng-geleng kepala.

Tapi tahun ini rasanya cukup berbeda. Berhari-hari sebelum perayaan kemerdekaan, suasana kota Kepi, Kabupaten Mappi sudah sangat berubah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Maklum, seiring dengan pergantian PJ Bupati Mappi dan penetapan Papua Selatan sebagai provinsi baru, pemerintah Kabupaten Mappi sedang gencar-gencarnya melakukan berbagai pembaruan. Simpang distrik Obaa sudah menyala terang dengan lampu-lampu hias dan panggung hiburan, dengan merah-putih menghiasi sepanjang jalan utama Kepi.

Di Kampung Samurukie sendiri, masyarakat tidak mau kalah dengan memasang bendera dan umbul-umbul di depan kintal rumah masing-masing. Bapak Karolus Womu, orang tua angkat saya di Kampung Samurukie, sudah sedari jauh-jauh hari bersemangat memasang bendera dan menghias pagar rumah kami. Kontribusi saya hanyalah menyediakan telinga untuk menerima ocehan nabo (bahasa Auyu untuk ‘bapak’) mengenai bhinneka tunggal ika dan Pancasila dengan penjelasan panjang dan lebar tak berujung - yang sudah tidak dihiraukan oleh anak istrinya di rumah.


Mencari Merah-Putih di Tengah Duka

16 Agustus 2022 sore hari waktu Indonesia Timur, 77 tahun setelah Soekarno dan Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok (kota kelahiran ibu saya) oleh pada kaum pemuda Indonesia, suasana kampung sontak berubah. Tete Finansius, seorang tua adat Kampung Samurukie, ditemukan meninggal dunia di rumahnya. Rumah pun langsung ramai dengan orang yang datang dari segala penjuru kampung. Para muda-muda langsung berpencar ke kampung-kampung kerabat untuk menyiarkan berita duka. Sepanjang malam, suara tangis wani (Bahasa Auyu untuk ’ibu’) dan nabo silih berganti mengisi kesunyian. Sebuah antiklimaks dari suasana merah-putih yang dibangun berhari-hari.

Bagi suku Auyu, kematian adalah akhir dari kehidupan dan segala interaksinya dengan hal-hal duniawi. Arwah akan memasuki sawegurkima okna, atau peristirahatan sementara untuk roh-roh, sebelum masuk ke simi busu atau surga. Kepercayaan ini memiliki relasi yang kuat dengan adat ajaran agama Katolik yang dianut mayoritas masyarakat di sini, di mana aka nada api pencucian terakhir sebelum bergabung bersama Yang Ilahi. Ketika ada kedukaan di dalam masyarakat, semua orang dilarang melakukan pekerjaan. Hal ini untuk menghormati arwah dan keluarga yang ditinggalkan.

Sayangnya, perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia merupakan momen yang jarang dirayakan oleh para masyarakat, karena hanya hadir dalam satu tahun sekali. Undangan upacara bendera dari pusat Distrik Passue Bawah di Wonggi sudah diterima oleh para aparat. Kami pun terjebak dilema, antara suasana duka dan perayaan.

17 Agustus 2022, aku terbangun pukul 6 pagi. Saat mengisi air minum, aku bertanya pada Salmon, anak Bapak Karolus. Ia berkata, bahwa Pak Karo sudah berangkat subuh hari ke Wonggi untuk memenuhi undangan Bapak Kepala Distrik. Aku pun merasa malu. Aku tidak memiliki halangan apapun untuk mengikuti upacara bendera. Kulit sawo matang dan rambut lurusku adalah sebuah representasi paripurna bagi masyarakat Samurukie mengenai apa itu bangsa Indonesia yang maju di seberang barat sana, namun aku tidak memiliki rasa kepemilikan itu. Sontak, aku berganti pakaian resmi dan mencari tumpangan apapun yang mengarah ke Wonggi.

Saya sampai di Wonggi pukul 9 pagi, setelah mendapat tumpangan oleh Filemon. Upacara dimulai pukul 10 pagi, dipimpin oleh Pak Bernadus Kelanit selaku PJ Kepala Distrik Passue Bawah. Seluruh warga dari berbagai kampung dan kalangan ikut menjalankan prosesi upacara. Standar kemampuan baris-berbaris tentu berbeda jauh dengan yang selama ini saya laksanakan di kota kelahiran saya. Saat Sang Saka berkibar dan lagu Indonesia Raya diputar, tidak satupun warga yang mengetahui liriknya. Tapi rasa haru justru menghampiri saya. Di tengah segala keterbatasan ini, masyarakat Distrik Passue Bawah tetap berusaha menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Lirik Indonesia Raya saya nyanyikan dengan lirih di balik usaha terbaik saya menutupi aliran tangis haru.

Selepas upacara, Bapak Kepala Distrik memutar lagu untuk masyarakat berjoget, sembari mempersiapkan perlombaan tarik tambang dan panjat pinang. Sayangnya, hal itu tidak dapat menutup duka kami dari masyarakat Kampung Samurukie yang masuk berkabung. Kami langsung bertolak kembali ke Samurukie untuk mempersiapkan acara pemakaman. Dari siang sampai sore hari, suasana kampung sunyi senyap. Hanya terdengar suara tangis para keluarga yang tak ada putusnya. Para kerabat keluarga dari kampung lain (Gauda, Busiri, Keta) datang dengan bermandikan lumpur sembari menyanyikan lagu adat sambil menangis terisak. Mandi lumpur adalah cara para masyarakat suku Auyu untuk menunjukkan duka, mengingatkan kita bahwa pada akhirnya kita akan kembali ke tanah.

Sekitar pukul 6 sore, makam dan peti sudah siap. Seluruh warga kampung mengantar kepergian Tete Finans yang dikubur di pemakaman umum Kampung Samurukie di ujung barat. Matahari yang terbenam menjadi latar dan saksi atas kedukaan kami hari itu. Saya teringat akan sebuah pepatah Afrika yang mengatakan, “satu orang tua mati, berarti sama dengan satu perpustakaan terbakar”. Para tua-tua adalah sumber ilmu dan kebijaksanaan, dan kami mengantarnya berpulang hari ini. Saat penguburan, kami memberikan hormat terakhir dengan bendera merah putih. Tete telah pulang di hari yang sama dengan bangsa kami merayakan kemerdekaannya.


Tangisku Mencari Arti Sebuah Bangsa

Kata ‘bangsa’ bagi saya masih menjadi sebuah pertanyaan yang masih saya bawa. Kami mengaku bahwa bangsa ini terbentang dari Sabang hingga Merauke, namun kerap kali masyarakat di ufuk terbit matahari ini masih kerap terlupakan. Mungkin hanya menjadi pernak-pernik belaka saat ada momen untuk memamerkan kekayaan adat dan budaya Indonesia, tapi tidak pernah lebih dari sekadar pajangan di mata dunia saja. Terlalu jauh apabila kita membahas represntasi dan keberpihakan, pengakuan atas hak-hak adat dan sumber dayanya pun masih jauh dari gapaian. Hal ini menjadi sebuah ironi setelah 77 tahun Indonesia merdeka.

Mungkin ada yang mendebat bagaimana legitimasi referendum Papua menjadi bagian dari Indonesia pada Mei 1963 melalui ‘Act of Free Choice’. Banyak sumber mengatakan bahwa Hatta menjadi salah satu tokoh yang tidak setuju bahwa Papua menjadi bagian dari Indonesia. Selain memiliki sejarah suku bangsa Melanesia yang berbeda dengan kita, Hatta pun khawatir bahwa Indonesia malah hanya menjadi kekuatan baru neokolonialisme di Asia Tenggara, alih-alih menghapusnya dari muka bumi sesuai amanat pembukaan UUD 1945. Ambisi Soekarno melawan dalih pemikiran Hatta mengenai Papua masih menjadi diskursus yang menarik hingga hari ini.

Di tengah sensitivitas dan polemik kata ‘merdeka’ di tanah Papua, nampaknya masyarakat Mappi abai saja. Mereka sendiri sudah menjadi bagian bangsa Indonesia. Namun, saya pribadi tidak bisa merasa abai. Masyarakat ‘suku’ masih dianggap kelas bawah, bahkan di tanah Mappi milik mereka sendiri. Ada sebuah ketertidaksinambungan yang terjadi mengenai pemahaman mereka arti kata ‘bangsa’ dengan realita yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah bangsa yang merdeka, saya menolak apabila martabat saya dianggap rendah oleh bangsa lainnya hanya karena warna kulit dan bentuk raut wajah saya. Saya sendiri masih mencari arti kata ‘bangsa’ itu di balik rawa-rawa Mappi. Saya masih mencari arti kata ‘merdeka’ itu pada suku bangsa yang mau berkompromi dengan adatnya demi merayakan berdirinya bangsa Indonesia. Pengorbanannya sungguh tidak terkira, dan keinginannya sungguh nyata. Namun, normalisasi yang terjadi pada bangsa yang sangat Jawa-sentris ini telah menanamkan bibit mental inferior akan suku bangsa lain di dalam diri anak-anak Papua.

Indonesia sebagai sebuah institusi negara mungkin sangat sulit dicari hal baiknya. Kalau berbicara mengenai hal buruk, mungkin saya lebih cepat merapalkannya. Namun, Indonesia adalah identitas saya sebagai sebuah bangsa, dan tidak ada satupun hal di dunia ini yang mampu mengubahnya. Begitu pula bagi para putra-putri Auyu yang merayakan kemerdekaan di tengah tangis dukanya. Semoga definisi ‘bangsa’ itu akan hadir utuh bagi mereka, suatu saat nanti.