Payung dan Koba-Koba

Penulis: Hallimah Sa'diyah, 04 July 2022
image
Patriot menggunakan koba-koba ketika melakukan survey PLTMH di Distrik Mare Selatan

“Someday, the cold rain will become warm tears and fall down. It’s alright, it’s just a passing downpour.” (IOI-Downpour)

Memasuki musim hujan, payung merupakan hal wajib yang harus dibawa ketika bepergian. Namun, payung tidak hanya berfungsi dalam melindungi diri dari hujan tetapi juga untuk berlindung dari panasnya matahari. Bahkan di Mesir dan Yunani, fungsi payung awalnya hanya dikhususkan untuk melindungi diri dari panas matahari. Hingga kemudian bangsa Tiongkok mengembangkan payung yang digunakan untuk melindungi diri dari hujan. Payung yang terbuat dari kertas atau kulit kayu tersebut, dilapisi oleh lilin sehingga menjadi tahan dari air.[1]

Sebagai orang yang pernah tinggal di Bogor yang terkenal sebagai Kota Hujan, payung memiliki arti tersendiri bagi saya. Bogor memiliki intensitas hujan yang tinggi dan sering turun secara tak terduga bahkan di musim kemarau[2]. Oleh karena itu, saya harus membawa payung setiap hari ketika pergi beraktivitas. Hal ini menjadi kebiasaan, yang mana sampai sekarang, payung merupakan barang yang wajib saya bawa ketika saya pergi beraktivitas. Walaupun saat itu musim kemarau dan saya sedang berada di luar Bogor. Begitu pula saat saya berada di Papua Barat, payung merupakan barang yang tidak saya lupakan ketika bepergian. Dan ternyata, di Papua Barat, saya menemukan sebuah alat yang memiliki fungsi sama dengan payung yang selalu saya bawa. Masyarakat lokal di sini menyebutnya koba-koba.

koba-koba1

Koba-koba membantu masyarakat Kabupaten Maybrat dalam beraktivitas ketika hujan (dokumentasi penulis)

Koba-koba adalah payung tradisional dari Tanah Papua, khususnya masyarakat Maybrat.[3] Koba-koba merupakan bentuk kearifan lokal warga Kabupaten Maybrat dengan memanfaatkan tumbuhan hasil hutan non kayu.[4] Koba-koba terbuat dari daun Pandan Hutan dan dijahit menggunakan kulit kayu Pohon Ganemon. Payung tradisional produk warga kampung Distrik Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat ini dihargai 250 ribu rupiah per buahnya. Karena terbuat dari daun, koba-kaba cukup ringan ketika digunakan dan bisa awet sampai 3 tahun. Koba-koba memiliki sifat anti air sehingga selain digunakan untuk berteduh dari sengatan matahari, koba-koba juga bisa digunakan sebagai payung ketika hujan.[5]

Koba-koba yang memiliki fungsi utama sebagai payung, ternyata masih memiliki banyak fungsi lainnya. Ketika koba-koba dilipat, maka koba-koba bisa digunakan sebagai wadah parang saat pergi berkebun, kantong bekal, dan tempat untuk menyimpan surat-surat. Selain itu, koba-koba juga bisa difungsikan sebagai tikar untuk alas tidur.[5] Koba-koba merupakan kearifan lokal masyarakat Papua yang berharga dan memiliki banyak fungsi. Keberadaanya merupakan bukti bahwa Indonesia memiliki begitu banyak warisan budaya yang perlu kita jaga, banggakan dan lestarikan.

 

Referensi:

[1] Nostalgia P. 2018. “Asal-usul Penggunaan Payung di Dunia.” Diakses dari https://kumparan.com/potongan-nostalgia/asal-usul-penggunaan-payung-di-dunia/3

[2] Triaryanawati D, Bayu N. 2021. “Mengapa Bogor Disebut Kota Hujan? Cek 6 Faktanya di Sini.” Diakses dari https://bogor.pikiran-rakyat.com/lokal-bogor/pr-082098070/mengapa-bogor-disebut-kota-hujan-cek-6-faktanya-di-sini

[3] Warisan Budaya Takbenda Indonesia. 2013. “Kerajinan Tradisional - Koba-Koba.” diakses dari https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=3181

[4] Kambu R, Matheus B, dan Novita P. 2021. Pemanfaatan Tumbuhan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) sebagai Bahan Bangunan Rumah Tradisional oleh Masyarakat Kampung Sembaro. Jurnal Kehutanan Papuasia. 7(1): 41 – 53

[5] Damarjati D. 2017. "Ini Kobakoba, Alat 'Ajaib' Bikinan Mama-mama Papua." Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3782075/ini-kobakoba-alat-ajaib-bikinan-mama-mama-papua