YELIUS : “YANG DIPERHATIKAN ITU ORANG SAKIT BUKAN HANYA ORANG MATI.”

Penulis: Ian Setiawan Nurdin, 20 June 2022
image
Proses pemakaman di kampung Werbes

Pagi itu cerah, beberapa bapak kampung berkunjung ke rumah. Mereka penasaran dengan alat peras santan kelapa manual yang baru saja didatangkan dari Jawa. Alat itu sederhana dan berukuran kecil. Saya sediakan untuk bapak Ayub yang sebelumnya rutin mengolah minyak kelapa namun akhir-akhir ini tidak lagi dikerjakan karena prosesnya cukup melelahkan jika hanya dikerjakan berdua. 

Sedang asik bercerita tiba-tiba ada satu pemuda yang datang membawa kabar jikalau di kampung sebelah sedang ada duka, salah seorang warga keturunan Biak yang terkenal baik hatinya meninggal dunia. Cerita berganti seketika tentang riwayat hidup almarhum, lalu warga merencenakan untuk menghadiri pemakaman.

Kampung yang sedang ada duka itu adalah kampung Werbes, jaraknya kurang lebih empat kilometer dari Kampung Esmambo, jika berjalan kaki membutuhkan waktu 1 jam lebih.

Pukul 08.20 WIT saya berjalan bersama kaka Yelius dengan istri dan anaknya Dominggus yang masih berada dalam gendongan. Ditengah perjalanan lewat seorang warga Kampung Hopmare yang baru saja dari rumah duka, ia memberi kabar bahwa pemakaman akan dilangsungkan pukul 12 siang. Mendengar hal tersebut istri dari kaka Yelius jadi sedikit dilema untuk melanjutkan perjalanan, sebab masih ada beberapa pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan.

"Ah jalan sudah, tra usah pikir itu" ucap kaka yelius meyakinkan yang membuat Mama Dominggus mau melanjutkan perjalanan.

“Padahal sudah setengah perjalanan, keringat sudah membasahi kerak baju, tapi mama Dominggus masih berpikir untuk pulang dan kembali ke Werbes saat nanti sudah dekat waktu pemakaman saja. Paraaaah wkwk.” batinku dalam hati.

Perjalanan dilanjutkan dengan banyak cerita yang telah dihabiskan. Kaka Yelius lahir dan besar di Kampung Induk (Kampung Hopmare) yang bersebelahan dengan kampung Esmambo, jadi ia tahu banyak tentang kampung itu. Ia bercerita tentang kondisi Kampung Induk yang saat dia kecil dahulu belum banyak tumbuhan yang bisa dikonsumsi. Hanya Sagu, Kasbi (Ubi Kayu), Daging Buruan dan Ikan yang menjadi konsumsi hari-hari warga. Belum ada Sayuran, bahkan Pisang dan Kelapa yang saat ini sudah menjadi komoditas utama warga kampung juga belum ada. Ia sampai takjub mengenang perjuangan orang tua dahulu, mengusahakan segala jenis bibit yang mereka peroleh dari tempat jauh, hingga saat ini keturunannya tinggal merawat dan menikmati hasilnya.

Setelah bercerita tentang kondisi kampung, saya kemudian menanyakan sebab kematian almarhum, ia menyebutkan bahwa almarhum dalam kondisi sehat, beberapa hari belakangan mereka masih mendapati almarhum beraktifitas dikampung Werbes. 

"Mati karena di bikin-bikin sama orang" sambungnya.

Pendapat ini pada akhirnya terbantahkan saat saya menanyakan hal yang sama pada salah satu keluarga almarhum. Ada riwayat stroke yang diderita. Hal semacam ini tidak jarang saya dapati di kampung, segala bentuk sakit hingga kematian yang mereka tidak tahu sebabnya selalu dikaitkan dengan ilmu hitam. Mereka menyebutnya "Suanggi". Seperti contohnya ada salah satu remaja dikampung Esmambo yang memiliki penyakit kejang-kejang dan hanya kambuh di waktu-waktu tertentu. Berdesarkan gejalanya penyakit itu sama dengan Epilepsi. Namun karena tidak mengetahui jenis penyakit tersebut, mereka menyimpulkan bahwa remaja itu sakit karena dibikin-bikin orang.

Setiba di Kampung Werbes, kami singgah di rumah keluarga Yelius untuk mengganti stamina yang banyak keluar di perjalanan, teh hangat dan pisang bakar disediakan tuan rumah. Sembari duduk di beranda rumah, banyak warga yang berbondong-bondong menuju rumah duka, melihat pemandangan itu Kaka Yelius berucap "sa heran dengan orang-orang, waktu sakit trada yang jenguk, pas mati dong pigi rame-rame liat, bawakan uang sayur apa segala. Padahal habis dikubur almarhum tidak butuh apa-apa"

Sebuah celoteh yang "wah" saya dengar hari itu. Membawa saya pada ingatan kejadian serupa yang sudah dilewati, terpukul juga tentunya. Bagaimana tidak, banyak orang yang berjuang membutuhkan uluran tangan untuk hidup, tapi sering terabaikan dan lebih memberi perhatian pada mereka yang sudah mati.

Saya memberi tawa kecil pada Kaka Yelius, membenarkan apa yang sudah dikatakan. Pemikiran yang sering terabaikan, namun memiliki makna yang begitu dalam.

Waktu menunjukan pukul 11.05 wit, stamina kembali pulih, kami meneruskan perjalanan ke rumah duka dan sudah siap memberikan segala bantuan tentunya.