Perjalanan Awal Live-In menuju Kampung Busiri, Passue Bawah, Mappi, Papua

Penulis: Sri Utari, 11 June 2022
image
Perjalanan menuju Kampung Busiri melewati tebu rawa

Perjalanan live-in ke Kampung Busiri, diawali dengan mencari kontak yang dapat ditumpangi sebagai perhubungan menuju Kampung Busiri. Dapatlah kontak guru GPDT yg bertugas di Kampung Busiri, bernama Ibu Venny. Langsung saja saya kontak Ibu Venny untuk berkenalan sekalian menyampaikan maksud dan tujuan saya menghubungi beliau. Rupanya Ibu Venny walau sedikit respon ketika di kolom chat, namun ketika bicara langsung di telepon sangat berbeda, beliau sangat ramah dan hangat. Dari Ibu Venny lah saya dan teman-teman patriot yg ditugaskan sebelahan kampung dapat tumpangan menuju kampung masing-masing. Saya dipertemukan dengan Pak Nyoman, staff dari dinas PU yang akan mengantarkan bahan bangunan untuk pembangunan sanitasi air di Kampung Busiri. Akhirnya tanggal 15 Januari 2022 saya, Alvin dan Adit memulai perjalanan live-in menuju kampung masing-masing dengan menumpang longboat yang sudah dicarter Pak Nyoman. Kami bertemu langsung di Pelabuhan Missi pukul 13.00 WIT. Langsung kami menurunkan barang bawaan kami untuk kebutuhan beberapa bulan kedepan ke dalam longboat. Sempat ragu, karena bawaan kami banyak tapi Alhamdulillah dapat dimuat di loangboat semua. Akhirnya barang kami dapat di muat semua dan kita langsung berangkat menuju Kampung Busiri. Satu jam perjalanan saya manfaatkan untuk berkabar dengan orang-orang terdekat selagi masih ada jaringan. Dua jam kemudian, kami sampai di Cabang Tiga untuk istirahat. Mengingat hari sudah mulai gelap, driver kita memutuskan untuk bermalam di Cabang Tiga saja karena perjalanan selanjutnya akan membutuhkan waktu dan tenaga untuk melewati tebu rawa yg bertumpuk banyak. Saya, Alvin dan Adit memisahkan rombongan dan meminta ijin bermalam di Pos TNI yang ada di Cabang Tiga. Kebetulan salah satu TNI yang ada disana, Pak Andi namanya juga bertugas untuk menjaga keamanan di kampung-kampung yang akan kami tinggali selama setahun, sekalian saja kami lapor dan meminta ijin tinggal di kampung-kampung tersebut.

Matahari menyingsing, kami segera bergegas melanjutkan perjalanan menuju kampung. Lima tumpukan tebu rawa siap menanti untuk dilewati. Sayang, pelampungku dan adit tertinggal di Kepi. Sementara Alvin menjadi murung karena pergelangan kakinya sakit. Alhasil kami bertiga hanya duduk diam canggung menonton para tukang yang bekerja keras mendorong longboat melewati tebu rawa. Empat jam berjibaku dengan tebu rawa telah terlewati. Sampai lah kami di muara Bifo, tempat Adit turun dan melanjutkan perjalanannya ke dalam kampung dengan ketinting. Setelah Adit turun dan kami saling berjabat tangan seraya memberikan semangat, hujan gerimispun mengiringi kami. Perjalanan kami lanjutkan menuju ke Kampung Samurukie, lokasi live-in Alvin. Sepanjang perjalanan menuju Kampung Samurukie, kami diguyur gerimis dan kami diam tak bersuara. Saya merasa dingin sekali hingga gigi saya bergetar tak sanggup berbicara. Hingga akhirnya akan sampai di Kampung Samurukie, Alvin tiba-tiba bertanya:

"Kamu dingin gak Sriw?"

"Dingin banget pin, sempet bergetar juga tadi. Kamu enggak po?" tanyaku.

"Dingin juga pele. Tak kira kamu dari tadi biasa aja Sriw hehe."

"Enggaklah, ku tahan-tahan. Ternyata bergetar juga gigiku."

Kami pun tertawa setelah membuka ke-jaim-an masing-masing.

Tak lama kemudian, kami sampai di pelabuhan Kampung Samurukie. Para tukang langsung menurunkan barang bangunan yang dimuat ke daratan kampung. Sementara itu, saya ikut turun untuk mengantarkan Alvin hingga bertemu dengan beberapa mama yang sedang bersantai ria di ujung kampung. Kutitipkan Alvin kepada mama-mama itu, langsung saya bergegas ke pelabuhan lagi untuk melanjutkan perjalanan menuju Kampung Busiri, lokasi live-in saya. Sepuluh menit kemudian saya sampai di Kampung Busiri, langsung saya kemas dan angkat barang-barang saya di longboat menuju dermaga. Ku tatap jalan menuju kampung yang sedikit menanjak, akhirnya saya mulai berjalan menapaki anak tangga dengan beban carrier yang hampir tak sanggup kugendong. Sampai di ujung kampung, saya langsung menyapa warga dan meminta tolong untuk diantarkan bertemu dengan perangkat kampung. Diantarlah saya menuju Balai Kampung Busiri, tak lama kemudian banyak warga berdatangan termasuk perangkat kampung. Berkumpul lah kami duduk bersila melingkar di balai kampung. Saya menyampaikan maksud dan tujuan datang ke Kampung Busiri. Masyarakat kampung juga menerima saya dengan baik. Tibalah waktunya untuk menentukan tempat tinggal saya selama di Kampung Busiri. Perangkat kampung dan warga bermusyawarah untuk memutuskan hal tersebut. Hingga beberapa lama belum juga diputuskan, akhirnya seorang mama di luar pintu, berbicara:

"Sudah di rumah saya, tidak masalah."

Sebagian warga tampak senyum sembari melihat ke arah Mama tersebut. Beberapa celetukan juga terdengar:

"Coba tanya Pace dulu."

Langsung semua mata tertuju pada laki-laki di luar jendela yang sengaja mengintip mengikuti musyawarah tadi. Pace tersebut pun langsung berbicara dari luar jendela.

"Coba tanya masyarakat dulu bagaimana. Apakah boleh jika ibu ini tinggal bersama keluarga kami." tegas Pace.

Mengingat sudah beberapa kali terjadi kecemburuan antara warga ketika ada orang baru yg datang dan ikut dengan salah satu warga kampung.

Semua orang diam sejenak, dan akhirnya diputuskan bahwa saya tinggal bersama Pace Yulianus dan Mace Agnes. Kujabat tangan Pace-Mace untuk pertama kalinya. Kemudian Pace-Mace dan beberapa warga mengantarkan kami ke rumah yang akan saya tinggali selama live-in.