"Sa Pu Guru Suruh Sa Pigi ke Kota": Buah Simalakama Itu Bernama Pendidikan Formal

Penulis: Alvin Putra Sisdwinugraha, 02 June 2022
image
Sa Pu Guru Suruh Sa Pigi ke Kota

Saat tulisan ini ditulis, sedang santer berita mengenai Munir Alamsyah, mantan guru honorer SMPN Cikelet, Garut yang nekat membakar gedung sekolah lantaran gajinya sebesar 6 juta rupiah belum dibayarkan sejak 24 tahun yang lalu. Sempat masuk bui, guru tersebut dibebaskan dan diberi kompensasi dengan nominal yang sama dengan gaji yang seharusnya dibayarkan. Dengan pihak berwajib mengabaikan fakta bahwa nilai tersebut kini setara dengan 40 juta rupiah akibat inflasi, saya sendiri juga tak akan ragu untuk membakar gedung sekolah itu, apabila saya di posisi Pak Munir.

 

Kisah heroik dedikasi para guru honorer atau kontrak di pedalaman sudah sangat sering kita dengar. Lagu "Guru Oemar Bakrie" karya Iwan Fals masih kerap saya mainkan dari daftar lagu favorit, yang secara romantis dan apik menggambarkan loyalitas para garda terdepan pendidikan formal. Hormat tertinggi saya berikan untuk mereka yang pantas disebut para putra-putri terbaik bangsa. Namun perjalanan saya beberapa bulan ke belakang membuat saya berefleksi tentang apa sesungguhnya arti "mencerdaskan kehidupan bangsa".

 

Picture1

Gedung sekolah darurat di Kampung Samurukie, Distrik Passue Bawah, Mappi, Papua

 

Nasib Nahas Budak Murah Neokolonialisme

Sudah hampir 8 bulan saya melalang buana menelusuri pelosok Kabupaten Mappi, di tepi sungai-sungai Pulau Papua bagian selatan. Selama berkeliling ke kampung-kampung, guru-guru honorer maupun kontrak menjadi pelepas dahaga bagi kami para pendatang baru. Kehangatannya begitu terasa, kami bak memiliki keluarga baru di kampung. Bukannya kami tidak merasakan kehangatan warga lokal, namun keberadaan sesama pendatang di tanah orang membuat kami merasa tenang. Guru-guru ini juga nampak sangat dihormati oleh warga kampung, terlebih oleh anak muridnya. Mereka dianggap sebagai juruselamat kiriman dari Yang Maha Kuasa, yang akan membebaskan mereka dari apa yang mereka sebut sebagai 'kebodohan'. Ilmu-ilmu dasar seperti membaca, menulis, menghitung, telah membawa mereka menjadi manusia ‘modern’ sesuai dengan tuntutan zaman. Guru dianggap sebagai sumber pengetahuan satu-satunya, dan segala kata yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran. Namun, kepatuhan buta mereka akan model pendidikan seperti ini yang menghadapkan mereka kepada dualisme antara manusia modern yang patuh, atau masyarakat adat yang ‘tertinggal’.

 

 

Di saat masyarakat kota sudah mulai berpikir mengenai restrukturisasi paradigma pendidikan formal yang begitu mengekang, masyarakat kampung nampaknya masih terjebak janji-janji pendidikan model Orde Baru yang akan menyejahterakan mereka. Ide mengenai pendidikan yang sangat pedagogis, melafalkan buku teks layaknya mantra jitu. Padahal, isi-isi buku itu tidak cukup relevan dengan duduk permasalahan yang sedang mereka hadapi. Bagaimana menghafalkan nama-nama ibukota 33 provinsi di Indonesia dapat membantu mereka menjaga dan mengelola hutan mereka yang kian hari makin dibabat habis? Atau, menghafalkan buta sejarah kerajaan Majapahit, tapi tidak tahu mengenai sejarah asal-usul nene – tete (sebutan untuk nenek dan kakek) moyang mereka sendiri, hanya karena tidak ada di ujian sekolah?


Mereka tidak sadar, bahwa pahlawan yang mereka dambakan ini mungkin justru akan membawa mereka jatuh semakin dalam ke jurang kemiskinan struktural. Cita-cita sekolah formal juga tidak jauh dari pekerjaan sebagai pegawai negeri di kota. Bukannya pekerjaan sebagai ASN ini buruk, namun menunjukkan seberapa buruk daya jelajah yang ditawarkan oleh pendidikan formal. Kemampuan mereka sebagai masyarakat urban juga tidak sebanding dengan masyarakat suku pendatang yang notebene terbiasa hidup merantau. Maka jadilah mereka: masyarakat kelas dua di tanahnya sendiri. Dan ini berakar dari cita-cita semu yang ditanamkan saat masih mengenyam pendidikan dasar. Tanpa sadar, guru-guru ini telah menjadi agen neokolonialisme yang telah mengakar kuat sejak zaman Orde Baru; bahwa anak-anak Papua harus bisa hidup dengan gaya seperti manusia Indonesia Barat. Cara hidup turun-temurun adalah kuno dan udik, tidak akan bisa bersaing di zaman modern. Bahwa kamu harus pergi ke kota, mencari kehidupan yang lebih baik, dan meninggalkan keluarga dan tanah leluhurmu.


Sayangnya, penghargaan untuk guru-guru kontrak ini pun juga tidak seberapa. Walaupun banyak program (yang namanya tidak bisa saya sebutkan) dengan pengelolaan yang jauh lebih baik dibandingkan pada zaman Orde Baru, namun kepastian upah dan jenjang karir masih jauh dari kata cukup. Padahal, dedikasi yang mereka tunjukkan jauh melebihi guru-guru pegawai negeri, yang tak jarang pekerjaannya hanya tinggal di kota dan menerima gaji, tidak peduli nasib anak didiknya di kampung. Niatnya mulia, dan pengorbanannya tak tergantikan. Namun penghargaanya tak sepadan, dan dampaknya menyesatkan. Pepatah ‘sudah jatuh, tertimpa tangga’ pun masih belum cukup menggambarkan kemalangan mereka.


Saat berbincang santai dengan mereka, banyak cerita bagaimana keamanan masih menjadi salah satu perhatian utama para guru kontrak ini. Berbagai ancaman seperti pembongkaran tempat tinggal, pembakaran sekolah, pemerkosaan, bahkan pembunuhan pernah dialami oleh guru-guru kontrak yang kami temui sepanjang perjalanan. Semua kejadian ini kerap terjadi karena kesalahpahaman antara masyarakat dengan guru. Memang hal ini nampak cukup kontradiktif dengan pandangan umum masyarakat kampung terhadap guru-guru pendatang. Bagaimana bisa mereka mengancam keselamatan guru-guru yang mereka sendiri anggap sangat berjasa? Mungkinkah pakem-pakem pendidikan yang diciptakan sama rata secara nasional, baik fisik maupun mental, justru menimbulkan sekat tersendiri antara guru pendatang dengan masyarakat?

 

Gedung sekolah di kampung-kampung banyak yang masih menggunakan dinding kayu dan beratapkan daun. Percepatan pembangunan memang membuahkan hasil berupa bangunan gedung sekolah yang lebih baik, sehingga sudah berupa bangunan utuh. Apabila menilik kondisi tersebut dari kacamata urban, mungkin yang kita dapat rasakan adalah keprihatinan akan kesenjangan pembangunan. Namun saya mendapatkan perspektif lain berdasarkan pengalaman saya. Sekolah merupakan fasilitas paling diagungkan di banyak kampung, melebihi kantor kampung dan hampir setara dengan gereja. Semakin bagus pembangunan sebuah sekolah, malah semakin nyata kesenjangan yang ingin dinyatakan oleh pendidikan formal. Sekolah dan rumah guru - yang kerap berada dalam satu komplek - seakan menjadi menara gading di kampung tersebut, yang tak bisa mereka gapai. Insting alamiah mereka pun berbisik, “Dobrak saja tembok itu. Ini tanah millikmu, milik nenek moyangmu! Masakan orang lain tidur lebih nyaman dan kenyang, sedang kau dilahap lapar dan dingin malam?”

 


Hakikat Pendidikan yang Memerdekakan

 

Lantas, bagaimana seharusnya paradigma pendidikan yang patut ditanamkan kepada masyarakat yang sangat jauh tertinggal ini, baik secara kemampuan dasar maupun dari penghargaan diri mereka sendiri sebagai masyarakat adat? Pendidikan sudah menjadi program prioritas selama bertahun-tahun bangsa ini mandiri, namun pertanyaannya adalah seberapa besar dampak dana yang dikeluarkan selama ini dengan ketercapaian cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?


Jauh sebelum bangsa penjajah datang, masyarakat tidak mengenal ijazah, bangku sekolah pun tidak. Namun bukan berarti mereka tidak belajar. Selama beratus-ratus tahun, mereka telah belajar mengenai mengelola hidup dan alam mereka. Proses pewaris pengetahuan telah dilakukan secara lisan di dalam bevak-bevak, di dalam hutan ketika mereka sedang berburu. Pengetahuan mereka mungkin tidak memiliki dasar ilmiah yang baik, maupun nilai kebenaran yang tertinggi. Namun itu bukanlah halangan mereka untuk tidak dapat menata kehidupan dengan baik, dari generasi ke generasi. Semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap pengalaman adalah ilmu.


Paulo Freire dalam bukunya “Pedagogi Kaum Tertindas” [1] memberikan pemahaman bahwa konsep pendidikan ‘banking education’ adalah konsep pendidikan yang menjadi kaki tangan pihak penindas, dan ini adalah fakta yang terjadi di masyarakat, terutama di Mappi yang kualitas SDM nya masih jauh tertinggal. Dengan menganggap bahwa siswa adalah agen penampung informasi dan pengetahuan, sama saja proses pendidikan ini mengebiri insting mereka untuk menjadi manusia mandiri. Sekolah menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan raksasa bernama kapitalisme, yang atas dalil globalisasi dan industrialisasi, mengerdilkan makna manusia menjadi kapital penggerak roda-roda finansial – yang keuntungannya pun hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir kelompok saja. Pemikiran yang sama datang Ivan Illich dalam bukunya “Deschooling Society” [2], yang bahkan menyuarakan untuk ‘membatalkan sekolah’ (disestablish school) untuk menolak konsep sekolah formal yang usang dan lekat dengan penindasan. Mungkin terdengar terlalu radikal, namun ucapan ini menyuarakan bahwa selama bergenerasi-generasi, sekolah sudah gagal menjawab keinginan masyarakat kebanyakan untuk menjadi manusia yang berkehendak bebas. Para manusia ini diambil dan dipisahkan dari realita sosialnya, sementara ketidakadilan sosial terjadi [3].


Untuk dapat menciptakan iklim pendidikan yang membebaskan, penting untuk memiliki pengetahuan dan pemetaan terhadap aset intelektual yang mereka miliki, serta tantangan yang mereka hadapi, baik secara secara sosio-ekonomi maupun ekologi. Dalam kata lain: membangunlah dengan apa yang masyarakat sudah miliki. Dengan membuka ruang dialogis seluas-luasnya, dan menganggap siswa sebagai agen pembawa pengetahuan juga, maka dapat dibangun diskursus mengenai pengetahuan macam apa yang akan dituju. Guru berperan sebagai pihak yang memoderasi arus pengetahuan, sehingga tercipta ‘growth mindset’ yang menstimulasi anak didik untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan realitas sosial yang ada di sekitarnya. 

Hal ini dapat dimulai dengan meruntuhkan sekat-sekat fisik dan sosial [4], yang pada akhirnya melahirkan interaksi intensif yang intim untuk mewujudkan sekolah tanpa batas yang membebaskan.



Referensi:


[1]       Paulo Freire, “Pedagogy of the Opressed”, Penguin, Harnmondsworth, 1978.

[2]       Ivan Illich, “Deschooling Society”, Harper Colophon, New York, 1983.

[3]       Roem Toepatimasang, “Sekolah adalah Candu”, INSISTPress, Yogyakarta, 2010.

[4]       Noer Fauzi Rachman, Siti Maimunah, Haslinda Qodariah, “Bersarang di Kampung: Panduan Belajar Bersama Rakyat”, Sajogyo Institute, Bogor, 2018