Sepenggal Perjalanan

Penulis: Faizal Rohmiani, 31 May 2022
image
Yaya, Sony dan Aku

Sore ini aku mengelilingi kota Saumlaki dengan angkot, ditemani sandal swallow yang melegenda sampai ke penjuru tanah air itu. Memang benar, sandal swallow melebihi pamor presiden. Banyak anak disini lebih tahu swallow daripada nama bapak presiden kita. Aku ingat, pernah sekali coba bertanya pada anak desa, “Ose tahu kah seng siapa nama bapak presiden kita sekarang? “Siapa kakak Icha?, Bet seng tahu mo”, anak itu menjawab sambil menyeringai dengan gigi putihnya yang kelihatan mengkilat dibalik kulit eksotiknya. Ya, begitulah kira-kira gambaran anak negeri di salah satu pulau terluar negeri ini. Harap maklum, negeri kita ini beribu pulau dari yang kecil sampai yang besar. Apalagi di desa ini masih jarang rumah yang memiliki televisi. Jangankan televisi, listrik saja belum ada.


Ciiiit… Ingatan itu pecah saat bapak supir memberhentikan angkotnya di tengah jalan secara tiba-tiba. Memang begitu sat-setnya orang berkendara disini. Agenda naik angkot kali ini belum tahu tujuan dan arahnya. Yang penting keliling saja dulu. Ku lihat kanan kiri sambil mengamati lalu lintas pikiran. "Sendiri dalam keramaian”, mungkin itu namanya. Kulihat barisan tempat duduk yang dipenuhi dengan anak-anak muda. Sepertinya mereka segerombolan teman yang akan pergi jalan-jalan bersama. Ah, sungguh bahagia memang masa SMP-SMA yang tidak ada beban. Selain itu, di pojok terlihat kakek-kakek yang sedang mencengkeram kuat uang lima ribu rupiah miliknya sambil melihat ke arah depan, mungkin mengamati jalanan sambil mengingat tempat tujuannya. Batik pakaiannya, stylish sekali bak mau kondangan. Ternyata memang beliau berhenti di pertigaan yang gangnya diisi dengan orang-orang hendak beribadah. Oh, aku baru ingat ini hari sabtu. Mungkin saja ada ibadah unit dari gereja.


Angkot terus melaju dengan pelan, pikiran ini mulai ingat lagi dengan kejadian lucu di awal bulan kemarin, bulan puasa yang dimulai dengan drama. Hari itu, aku akan berangkat ke desa dengan menumpang motor milik teman baru yang tujuannya sama denganku. Teman yang beberapa bulan membantu banyak hal saat aku butuh sesuatu. Tentu saja kami akrab karena asli orang Jawa yang mengembara ke luar dan ternyata jauh juga kalau dipikir, haha. Namanya Yaya, perempuan tangguh dengan segala kecerdasan yang dia miliki, dan tentu saja dengan beberapa keluhan, sambat titik jos. Memang kadang mengeluh juga bagian dari kehidupan kami, lha namanya juga manusia. Sesekali boleh kan. Hahaa.


Siang pukul 11 kami mulai berangkat dari kota Saumlaki menuju Larat, kota kecamatan yang harus aku lewati saat menuju ke desa penempatan. Alamaak, panas di tengah bulan puasa memang sangat menggoda. Biasa perjalanan ditempuh selama 4 jam. Sepanjang jalan tentu saja yang ada pegunungan dan lautan samudera luas. Perkampungan hanya berada di beberapa tempat saja. Sampai sudah setengah perjalanan, “daaak, suara ban motor yang mengagetkan kami yang sedari tadi fokus menerjang jalan yang sesekali berpasir dan berbatu.

“Chaaaaa, ban kita. Ampuuuuun! Gimana ini? Ada yang bisa perbaiki nggak ya?”, wajah Yaya penuh dengan debu dan kerutan di dahi karena kebingungannya.


Untung saja, kali ini Tuhan masih sangat sayang dengan kami. Ban kami bocor di tengah perkampungan warga. Kami segera mencoba mendorong motor dan mulai bertanya dengan beberapa penduduk. Akhirnya kami mendapati orang yang bisa memperbaiki ban sony. Kebetulan motor itu bernama sony. Haha. Setelah satu setengah jam menunggu, kami lanjutkan perjalanan. Setengah jam sony meliukkan badannya di panasnya jalan, dan “duaaak, suara kedua muncul.


“Ichaaaaaaa!”, kali kedua ini suara Yaya lebih lesu dan tentu saja hampir menangis, dan aku hanya tertawa. Menertawai keadaan susah juga merupakan sebuah kenikmatan. Beda dengan yang pertama, kali ini sony bocor di tempat yang antah berantah, tidak ada rumah penduduk yang berjejer di pinggir jalan itu. Yang ada dalam pikiranku hanya berdoa semoga ada kendaraan lewat atau orang baik yang bisa membantu kami. Dan ternyata kali kedua Tuhan baik sekali dengan kami. Melihat lambaian tanganku, sebuah mobil bak berwarna putih yang membawa beberapa kotak ikan berhenti beberapa meter di depanku.


“Bapak, maaf merepotkan, beta deng teman bisa numpang kah?”, begitu kira-kira perkataanku saat itu. Melihat kami yang keduanya perempuan, bapak itu bersedia membantu kami. Tentu saja kami menghabiskan perjalanan di bak belakang dengan memegangi sony di sepanjang akhir perjalanan menuju kota Larat.


“Don’t cry, don’t be shy, kamu cantik apa adanya, jalani syukuri dirimu sempurna! You’re beautiful! Beautiful! Beautiful! Begitulah lagu yang kami nyanyikan sambil menghibur diri. “Dok, kali ini suara angkot yang kutumpangi menabrak batu besar di pinggir jalan meleburkan lamunanku itu.


Sekali lagi, menertawai kesengsaraan juga perlu, dan mengeluh juga bagian dari kenikmatan! Nikmat! HAHAHA.