Kuasa Tuhan Untuk Pedalaman Asmat

Penulis: Wahyu Pratomo, 23 May 2022
image
Menyusuri Sungai Asmat

Suara mesin long boat memantul dari pepohonan dan hutan mangrove saat mengiringi perjalanan menuju distrik-distrik di pedalaman Kabupaten Asmat, Papua. Sungai yang berkelok nan panjang dengan anak-anak sungainya menjadi jalur penghubung utama untuk menembus Asmat. Dikepung hutan tropis dan rawa-rawa, diselimuti rasa was was akan buaya, menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi orang non-Papua untuk berkunjung ke sana. Sementara bagi masyarakat setempat, sungai adalah kehidupan dan halaman rumah, bagian yang tak terpisahkan dari keseharian mereka. Hutan bakau, sagu, dan kayu besi, udang, ikan, burung, menjadi salah satu sumber yang menghidupi masyarakat Asmat.

  

Sungai-sungai di Asmat berhulu di pegunungan Jaya Wijaya, Sungai-sungai utama memliki lebar 50-350 meter dengan ratusan anak sungainya yang mengalir jauh sepanjang ratusan Kilometer menuju laut Arafuru. Menurut Rene Wassing dalam bukunya Asmat Art, “sungai merupakan jantung transportasi bagi warga Asmat”, tak heran jika hampir seluruh kampung-kampung yang berada di Kabupaten Asmat berdiri di pinggiran sungai.

 

Masyarakat Asmat masih memegang teguh akan adat dan budaya nya, mereka menganggap hutan dan sungai sebagai sumber kehidupan dan rumah bagi mereka. Pemikiran dan perilaku yang membuuat Ekosistem alam masih sangat terjaga. Hutan kaya akan pohon Besi, Damar, Bintangur, Sagu, Rotan, Anggrek, aneka burung Cendrawasih, Kakak Tua Hitam Raja, Kakak tua putih, Nuri, Rangkok, Rusa, babi, Kasuari, sedagkan sungai kaya akan, udang lobster, kepiting, kerang dan siput dan ikan ikan monster. Cara masyarakat mengambil dan mengelola kekayaan alam masih menggunakan teknik-teknik sederhana, mereka sadar jika mereka mengambil secara berlebihan tidak baik untuk keberlangsungan hidup mereka kedepannya atau mereka sebut “pamali”

Hidup, tinggal, bangun, makan bersama masyarakat suku Asmat membuat saya harus beradaptasi dengan lingkungan, terutama bagaimana cara mencari makan. Selama tinggal di Kampung Katew, Distrik Jetsy, Asmat Papua saya mengikuti kegiatan masyarakat baik di hutan maupun di sungai, mencari kayu bakar, memangkur sagu, berburu, menjaring udang, memancing ikan, atau mencari siput, kerang.

 

Sungai sungai di Asmat secara geologi berstadia tua, dengan erosi lateral atau ke samping , sungai kaya akan material sedimen namun tidak terlitifikasi secara sempurna. Sungai sungai di Asmat mengalami siklus pasang surut air sungai. Ada waktu waktu tertetu apabila kita ingin menjaring udang atau mencari siput di sungai, kita harus menunggu waktu sungai dalam keadaan “meti jauh” atau ketika air sedang surut. Ketika kondisi sungai surut udang akan ke pinggir sungai. Berbekal jaring dengan lebar 2-3 meter kita menjaring di pinggiran sungai dari bawah menuju ke atas berlawanan arah air kita akan mudah mendapatkan udang dengan ukuran yang jumbo.


Namun bukan perkara mudah menjaring udang di tanah berlumpur, tentu kaki kita bisa terbenam di lumpur hingga sepaha apabila kita tidak tahu teknik berjalan di lumpur ditambah nyamuk nyamuk kecil “agats” yang setia menemani perjalanan kita selama menjaring udang.

 

Kondisi air surut berlangsung hanya beberapa jam saja, kemudian air menjadi tenang “konda” dimana air laut mulai bergerak naik, kondisi air baru seperti ini sangat disukai ikan-ikan, ketika air tenang atau konda adalah waktu yang pas untuk memancing ikan.

 

Kuasa Tuhan dan bentuk kasih sayang-Nya untuk masyarakat Asmat berupa kekayaan lalam yang uar biasa kayanya. Hutan, sungai menjadi sumber kehidupan, yang harus selalu kita syukuri, kita jaga dan kita lestarikan, untuk kita hari ini, dan penerus penerus kita selanjutnya.