Diari Marind Sehari

Penulis: Miqdad Fadhil Muhammad, 13 May 2022
image
Pantai Lampu Satu, Merauke

10 Mei 2022


Perjalanan ke-3 dari Merauke menuju Pulau Kimaam. Kali ini menggunakan Kapal Sabuk Nusantara 53. Perjalanan 20 jam menuju Wanam cukup berbeda dengan yang telah dirasakan sebelumnya. Bukan karena kapal ataupun teman perjalanan yang berbeda. Tapi mungkin diri yang mulai terbiasa. Ombak malam laut selatan papua kini tidak begitu memabukan. Entah karena angin yang berhembus di bulan Mei agak tau diri. Tidak semena-mena seperti angin awal tahun yang maunya terlihat gagah padahal membuat repot daeng-daeng tersebut pergi melaut, menjaring ikan sesuai musimnya. Entah kenapa seakan ilmu melaut memang lahir dari para daeng tersebut. Pasalnya jika kau berjalan di sepanjang pantai Indonesia Timur, yang kau temukan tidak akan jauh dari rumah panggung dan kapal ikan makasaar. Orang marind sendiri? tidak akan lebih dari abk, atau hanya memancing bulana di dermaga.


Kembali ke Sabuk Nusantara 53, ombak mulai menggoyangkan penumpang-penumpang yang tertidur pulas di kasur susun bertingkat. 25 ribu rupiah untuk tidur 20 jam di kasur hijau ukuran 2x0.75 m. Mungkin diantara orang-orang yang tertidur itu ada yang bermimpi sedang berbelanja di pasar. Karena dia tertidur tidak jauh dari tumpukan sayur segar yang baru saja dipanen dari kebun-kebun transmigran di Merauke. Aroma bawang, kunyit, dan keringat penumpang lain nampaknya sudah memainkan mimpi dia, walaupun tetap tidak menganggu tidur lelapnya. Yang menganggu hanya panas. Ya! Panas! bagaimana tidak, area penumpang berada di 2 lantai bawah, seperti tidur di basement gedung2 ibukota. Penumpang harus berlomba-lomba mendapat kasur yang dekat dengan jendela untuk sekedar mendapat hembusan angin laut. Beginilah realita hidup orang-orang tepian Indonesia. Berlayar dengan Kapal Sabuk Nusantara 53 yang sekaligus menjadi pasar juga peternakan karena memang ada kambing di atas kapal ini. Orang-orang Marind pulang ke kampung setelah bersusah payah menjadi masyarakat kelas 3 di kota. Para transmigran Kota Merauke justru baru berangkat untuk mencari peruntungan di pedalaman, karena lagi2 pasti ada orang terpinggirkan di kota. Semua yang bertemu di kapal ini menjalani kisah hidupnya sendiri. Bertaruh demi hidup yang lebih baik, walaupun konsep hidup yang baik mungkin sudah kabur untuk mereka. Yang penting ada hidup untuk esok hari, itu sudah cukup setelah berkali-kali menjadi kaum terpinggirkan.


Sementara itu, saudara 2 jam lebih lambatnya baru saja tiba di rumah setelah kelelahan seharian bekerja di Ibukota. Atau juga kesal karena rekan 1 kantornya belum kembali dari libur lebaran 1 minggunya. Yang mereka khawatirkan adalah bagaimana performa mereka besok di kantor, bagaimana target-target perusahaan di bulan ini. Atau untuk mereka yang membenci pekerjaannya, bagaimana mereka bisa melalui pekan ini sehingga dapat menikmati akhir minggu dengan hidupnya. Akhir minggu yang diisi dengan menyantap ikan bakar favorit di restoran seafood ibukota. Mereka mungkin tidak menyadari, ikan yang mereka santap 2 minggu lalu sedang berenang di laut Selatan Papua, lalu tersangkut di jaring yang ditebar para daeng. 100rb yang mereka keluarkan untuk 1 ekor ikan bakar lezat itu dirasakan juga untungnya oleh para daeng tersebut. Mungkin sekitar 10rb. Berhenti disitu? Belum. Orang-orang marind asli Papua Selatan juga pasti merasakan untungnya. Coba tebak? Setengahnya dari para daeng? Oh tentu tidak. Yang mereka dapatkan adalah laut yang lebih kosong untuk mereka nikmati berenang. Kosong karena ikan di laut mereka dibakar untuk masyarakat kelas 2 ibukota. Kini orang marind bisa bebas berenang di laut tanpa ikan, sumber kebahagiaan yang tersisa untuk mereka. 23.23 WIT penumpang Sabuk Nusantara 53 sedang berlayar di atas laut tersebut, menyantap pop mie lalu membuangnya ke laut. Ah, baiknya orang tersebut karena menghadirkan teman berenang baru untuk orang marind.