AYI, OYI, dan UANG

Penulis: Ian Arya Danarko, 08 May 2022
image
pondok milik Ayi

"Sa pu anak buah ini mo jalan-jalan sore" tutur Ayi kepada beberapa pemuda yang sedang duduk di para-para bambu sederhana sore itu.



Sore itu, untuk pertama kalinya semenjak beberapa hari aku berada di sebuah tempat bernama Kasonaweja. Setelah beberapa kali berganti transportasi dan menginap dibeberapa tempat akhirnya aku sampai di Kabupaten Mamberamo Raya sesuai dengan lokasi penempatan yang ditentukan oleh tim koordinator IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan). Keberangkatan yang dimulai secara serentak pada tanggal 4 November tahun lalu menjadi awalan perjalanan aku dan tim beserta patriot lainnya.

Pemberangkatan yang bermodalkan sedikit pengetahuan tentang lokasi penugasan tentunya menjadi tantangan bagi aku dan tim untuk mampu menjangkau lokasi yang ditentukan. Basa-basi, tegur sapa ku lakukan, tak terkecuali dengan siapa pun demi mendapatkan informasi meskipun hanya sedikit dari setiap orang yang ku jumpai disetiap jalan ataupun perhentian.

Sampai akhirnya ketika aku dan tim turun selepas melakukan perpindahan dari Jayapura ke Mamberamo disebuah pelabuhan yang tidak berbentuk pelabuhan itu. Saat itu aku dan tim bertemu dengan beberapa aparat gabungan yang sedang merazia minuman-minuman yang coba dibawa dari Jayapura ke Mamberamo untuk dijual kembali. Di saat itu juga aku dan tim bertemu dengan Pak Marno yang merupakan Komandan Pos Ramil di Mamberamo Raya.

"Sampeyan semua dari mana? " tanya Pak Marno dengan logat Jawanya yang keheranan melihat segelintir pemuda pemudi dengan tas besar yang dipakainya serta tas kecil di depan dadanya dan beberapa tentengan kardus ditangannya.

"Kami relawan pak dari Kementrian ESDM pusat" Jawab ku singkat atas pertanyaan Pak Marno.

"Terus kesini dalam rangka? "  tanya Pak Marno lagi.

"Kami dapat tugas survey terkait kelistrikan pak untuk ke desa-desa di beberapa distrik" jawab ku kembali.

"Desa-desa? Mana aja tuh desanya? " Kembali Pak Marno bertanya.

"Ada empat distrik pak, ada Mamberamo Tengah, Mamberamo Hulu, Rofaer, dan Mamberamo Tengah Timur dengan jumlah desa yang berbeda-beda dari setiap distrik tersebut" Jawab ku kembali.

Obrolan yang juga sambil didengar oleh anak buah Pak Marno tiba-tiba di potong oleh salah satu anggota Polisi yang kebetulan juga sedang ikut mendengarkan.

"Kalian sudah tau tempat-tempat itu bagaimana kondisinya? Keren sekali ya kalian mau kesana" celetuk salah satu anggota tersebut.

Aku yang cukup keheranan mencoba untuk tenang sambil memperhatikan satu per satu muka orang-orang yang berlalu lalang guna mencari tahu stakeholder kami yang beberapa hari sebelum keberangkatan dari Jayapura sudah dikoordinasikan oleh salah satu Kepala bidang di Dinas ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) Provinsi Papua.

"Kalian dari mana tadi? Relawan?" bisik salah satu anggota Polisi yang tidak diketahui namanya tersebut dengan muka songongnya dan sambil menarik sela baju rekan tim ku Kris sekaligus memandangi tato yang berada di badan Kris.

Seketika aku terdiam dan enggan meladeni pertanyaan anggota tersebut yang menurutku sangat amat tidak sopan dan terkesan norak apabila hanya melihat orang berdasarkan tampilannya saja. Heran bagi ku ketika terdapat anggota yang berperilaku bak preman seperti itu, apakah itu yang di sebut abdi negara? Fikir ku, tapi ah sudah lah lupakan karena kita tahu pastinya itu oknum hehe.

Hampir tiga puluh menit aku berdiri disana, sambil memperhatikan juga menunggu beberapa rekan yang belum selesai memindahkan barang bawaan karena padatnya penumpang. Akhirnya sambil menunggu, aku dan tim juga sambil bertanya kepada beberapa orang disana, dan kami pun di sarankan untuk langsung menuju kediaman orang yang kami maksud yaitu bapak Evelis. Karena barang bawaan yang cukup banyak Billy pun bergegas terlebih dahulu untuk memastikan tempat yang dimaksud dan setelah ada kabar dari Billy kami semua segera bergegas juga menuju lokasi Billy.

Guest House begitulah nama tempat yang menjadi tujuan aku dan tim sejak turun dari Cantika Lestari 77 yang melayani rute Jayapura-Kasonaweja. Malam pertama kami di sana tentunya langsung disambut dengan kegelapan yang disebabkan habisnya bahan bakar untuk menyalakan listrik tetapi aku pribadi merasa aman-aman saja karena setelah lelah di perjalanan di otak ku hanya terfikir untuk segera bebenah lalu lanjut beristirahat malam itu.

Berhari-hari aku dan tim menjalani kegiatan di sana, keputusan demi keputusan akhirnya selalu lahir dari pemikiran kami. Kali ini tim memutuskan untuk bergerak sendiri dalam melakukan survei ke beberapa kampung terdekat dan tidak sesuai dengan yang ada dalam surat tugas, karena ketidakmampuan kami memenuhi kebutuhan biaya menuju ke kampung tujuan awal dan semenjak keputusan itulah kami baru bergerak aktif mencari informasi hingga peluang termurah untuk menuju kampung yang sudah ditentukan sendiri.

Ria dan Yuhe adalah dua orang perempuan yang tergabung dengan ku dalam tim ini, sore itu setelah kami berembug untuk membagi tugas mereka berjalan menuju Pos Ramil dengan maksud mencari informasi terkait kampung-kampung yang hendak kami tuju nantinya. Ria dan Yuhe memang sebelumnya cukup sering main ke sana untuk mencari informasi, menumpang mandi atau sekedar Wifi-an karena memang sinyal internet di Kabupaten ini cukup setengah mati walaupun hanya digunakan untuk menelpon biasa tanpa sinyal internet sekali pun.

Pencarian informasi yang dilakukan oleh Ria dan Yuhe saat itu bisa dibilang membuahkan hasil yaitu dengan bertemunya mereka kepada salah satu tetua adat kampung Danau Bira yang menjadi salah satu kampung tujuan kami nanti. Melalui Pak Marno mereka dikenalkan kepada bapak Okto dan juga istrinya. Bapak Okto ialah salah satu tetua adat dari suku Baudi yang merupakan salah satu suku asli di tanah sejuta misteri itu.

Yuhe dan Ria yang sudah berkenalan lebih dahulu tentunya membuat aku dan rekan tim lainnya juga ingin berkenalan dan menjadi dekat dengan bapak Okto yang lebih akrab di panggil "Ayi"- yang dalam bahasa suku Baudi berarti Bapak dan istrinya yang dipanggil "Oyi"- atau Mama. Sampai pada sore itu pada tanggal 1 Desember aku dan rekan lainnya, semua pun berkunjung ke pondok singgah milik Ayi ini yang berlokasi tidak jauh dari guest house dengan maksud menanyakan kepulangan Ayi dan keluarga ke kampung agar kami dapat menyesuaikan dan mengatur jadwal dalam agenda survei, sekaligus saat itu menjelaskan terkait maksud tujuan kedatangan kami secara detil.

Bincang-bincang pun berlanjut sambil sedikit demi sedikit kami diajari bahasa Baudi oleh Ayi dan keluarga. "Niatte" - merupakan sapaan Selamat Sore dalam bahasa Baudi, adapun beberapa kosa kata atau kalimat-kalimat lainnya yang di ajarkan kepada aku dan rekan-rekan. Tak terasa waktu hampir mendekati sore, kami yang belum mengetahui banyak wilayah Mamberamo itu pun meminta untuk Ayi menemani berkeliling di wilayah mantan Ibukota Kabupaten tersebut dengan berjalan kaki dan menyusuri jalan-jalan di sana.

Di perjalanan kami sempat berhenti dan mengabadikan momen menggunakan kamera yang dipinjamkan panitia. Beberapa pose terkeren dari tiap-tiap orang merupakan sebuah tanda betapa senangnya aku dan tim dapat melakukan pendekatan dengan mulus. Sambil terus berjalan kami sambil terus bercerita tentang Danau Bira yang jika dilihat dari ketinggian saat itu berada di balik gunung kedua dari posisi pegunungan yang terlihat. Buaya pun menjadi topik yang selalu muncul selama perjalanan dimana memang ketika berbicara Mamberamo Raya kita tak akan lepas dari pembicaraan Buaya dan Cendrawasih.

Sore berlalu, kami pun memutuskan berpisah di tengah jalan dari Ayi dengan maksud tidak ingin merepotkan jika harus di antar sampai rumah. Namun, mungkin yang namanya baru kenal Ayi juga ingin tahu lebih dalam tentang tim kala itu, maka Ayi putuskan untuk mengantarkan kami sampai di guest house dan kami pun merespon niat baik Ayi tersebut dengan membiarkan keputusannya tersebut.

Sesampainya di guest house kami segera bergegas masuk dan mempersiapkan makan malam bersama karena memang perjalanan sore tadi membuat semua perut keroncongan. Dengan menu seadanya makan malam itu cukup terasa nikmat karena dapat disantap secara bersama dan dipadukan dengan pimpinan doa ala suku Baudi yang baru pertama kali aku dengar dan pastinya aku tidak tahu apa artinya selain maksud bersyukur. Makan malam pun selesai dan Ayi segera berpamitan untuk pulang menuju kerumahnya.

Setelah kenal, keramahan Ayi pun bertambah dengan sering datang mengunjungi kami di guest house, bahkan hampir setiap hari. Keakraban makin hari tentunya makin terasa sampai menghilangkan kata canggung diantara kami dan Ayi, sampai-sampai beberapa kali Ayi pun tidur di sana. Sampai pada suatu saat kami kembali menanyakan tentang kapan Ayi akan berangkat ke desa, tetapi selalu jawaban Ayi ialah "menunggu dana kampung". Awalnya tiap kali mendegar itu aku cukup cuek dan tidak menggubrisnya, tetapi seiring berjalannya waktu aku jadi bertanya-tanya kenapa sampai ditunggu begitu dana kampung ini, meskipun kadang sempat terlintas dalam kepala apakah karena beliau salah satu tetua adat?? Tapi itu pun tidak pasti juga.

Keakraban yang terjadi antara kami pun akhirnya memperlihatkan bagaimana Ayi menaruh harapan kepada tim ini, dimulai dengan perkataan Ayi terkait uang dan sampai Ayi yang selalu mengikuti aktifitas kami kemana pun itu bahkan sampai menjadi posesif layaknya pacar yang cinta mati agar selalu mengabari dirinya setiap akan melakukan aktifitas apapun itu. Sampai-sampai pada beberapa waktu aku dan tim sempat mengendap-endap saat berjalan kaki agar tidak di ketahui Ayi yang memberikan kesan bahwa kami sedang menjauhinya. Sikap yang kami pilih tentunya terlihat seperti tidak etis dengan menghindari orang, terlebih Ayi yang rencananya akan menjadi salah satu orang tua kami selama di penugasan. Tetapi dibalik itu semua sesungguhnya kami hanya ingin membuat Ayi menjadi seseorang dengan mental yang tidak bergantung pada orang lain dengan tujuan yang ingin dicapai adalah uang.

Ayi yang merupakan orang kaya dari kampung seharusnya bangga dengan apa yang dia miliki dan tentunya merasa cukup dengan kekayaan alam yang menyelimutinya. Tetapi pada konteks pemikiran ini aku justru jadi berfikir bahwa kenapa justru ia yang menjadi cukup miskin dihadapan yang lainnya? Apakah ini sebuah dampak dari dikenalkannya mereka terhadap uang? Sehingga tiap kali ada peluang pasti tujuan utamanya uang, terlebih jika ada orang baru yang datang pasti dianggapnya uang dan itu pun yang aku rasakan di menit-menit terakhir mengenal Ayi saat dirinya meminta dibelikan handphone karena menganggap aku dan tim memiliki banyak uang.

Mungkin permasalahan dana bagi daerah-daerah di Papua sudah menjadi permasalahan umum yang sering sekali di dengar. Dana kampung yang semestinya digunakan untuk membangun dan mengembangkan segala potensi di kampung memang sering menjadi problematika dan dilematik dalam penerapannya. Pembagian secara tunai kepada tiap-tiap kepala keluarga sering sekali dilakukan entah dengan maksud kesejahteraan ataupun lainnya. Masyarakat yang sejak awal keberadaannya tidak melulu menggunakan uang kini sudah beranjak menggunakan uang sebagai komponen utama dalam kehidupan sehari-harinya.

"Kalau koi disini bayar mahal kah?" Ayi bertanya soal bayaran penginapan kami.

"Iyo Ayi, memang agak mahal makanya tong ingin segera pi ke kampung supaya tra mahal bayar to" Jawab ku.

"Itu lagi.. kalau kitong di suku Baudi tra biasa seperti itu ee, tapi biasanya dorang kasih itu pas akhir barang 4juta kah atau kalau tra ada 2juta juga bisa" Kembali Ayi menjawab.

"Hooo iyo" aku kembali menyaut.

Dari sepenggal percakapan di atas cukup terlihat harusnya bahwa; mereka yang dahulu tidak seperti itu namun sekarang ini cukup sering membicarakan hal seperti itu. Meski dengan tujuan yang baik namun kurang tepat menurutku jika harus memberikan uang sebagai ukuran kesejahteraan mereka, dimana jika kita fikirkan bahwa sebanyak apapun uang yang mereka miliki tidak akan berarti jika dibandingkan dengan apa yang sudah mereka miliki sejak lahir, karena seutuhnya kebutuhan mereka sudah ditopang oleh kekayaan alam yang ada di sekelilingnya.

Sekalipun terdapat penyuluhan di kampung, namun terkadang pelaksanaannya masih kurang sesuai dengan kondisi dan kemampuan masyarakat. Pembangunan yang seharusnya disesuaikan dengan kenyamanan terkadang bukan berasal dari masyarakat langsung, melainkan hadir dari aktor-aktor intelektual yang mencoba merubah pola perilaku masyarakat agar lepas dari sejatinya. Seperti rumah dari batu atau beton yang kadang malah tidak ditempati setelah dibangun dan masyarakat tetap memilih tidur dengan kondisi nyamannya yaitu bentuk rumah panggung atau pun honai.

Atau bahkan soal padi pun jika suatu saat akan ada pembukaan lahan untuk menjadikan tempat menanam padi secara besar khususnya di Papua, menurutku tidak tepat karena sejatinya pemenuhan karbohidrat mereka sudah tercukupi melalui sagu, singkong, betatas, ubi dan berbagai jenis tanaman karbohidrat lainnya. Indonesia yang memiliki hampir 100 jenis tanaman pemenuh karbohidrat seharusnya menjadikan sebuah keberagaman sebagai kebanggaan tersendiri tanpa harus membuat ke samaan dari ujung hingga ujung dimana hal itulah yang nantinya akan jadi sebuah manifestasi nyata bagi arti Bhineka Tunggal Ika yang selama ini kita lihat di dinding-dinding.

"Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa." Jika dilihat dari penjelasan Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementrian Keuangan sebenarnya jelas bahwa dana tersebut merupakan alat pendorong melalui rencana-rencana kerja dan bukan justru dibagikan secara cuma-cuma kepada masyrakat dalam bentuk uang tunai dan tanpa adanya pendampingan secara maksimal dari pihak-pihak yang sudah seharusnya mendampingi.

Begitu pun dengan maksud kalimat pemberdayan masyarakat jika dilihat dari definisi yang tertuang dalam PERMENDESAPDTT NO.16 TAHUN 2018 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 menyebutkan bahwa Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Maka kita bisa melihat bahwa yang diharapkan ialah berkembangnya kemandirian dan kesejahteraan melalui pengetahuan, sikap dan lainnya bukan melalui pembagian Uang yang akhirnya membuat disorientasi pada masyarakat sampai saat ini. Bahkan masih di Permen yang sama pun pada Pasal 3 poin ke tiga tidak membenarkan adanya Praktik Penggunaan Dana Desa yang dibagi rata.

Praktik pembagian dana ini tidak hanya terjadi pada masalah dana desa, tetapi khususnya di Mamberamo Raya juga terjadi pada Program Gerbang Gatra yang lagi-lagi mengandalkan kata "Kesejahteraan" untuk membagi uang kepada masyarakat. Di lansir dari artikel Jubi.co.id- Dana Gerbang Gatra Kembali Guyuri Mamberamo Raya - mantan Sekda Mamberamo Raya Drs. Alfons Sesa menyatakan "dalam berbagai pendekatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga baik lembaga-lembaga swadaya, seperti yang dikenal dengan perencanaan Partisipatif dimana masyarakat hanya ikut merencanakan, tetapi masyarakat tidak menggunakan uang untuk melaksanakan apa yang direncanakan".

Entah jika mendengar pernyataan Sekda pun aku tidak tahu apa yang merasukinya sehingga dalam hal ini beliau dapat menghalalkan pembagian dana secara tunai pada masyarakat tanpa melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat. Maka dengan demikian pula hal ini menjadi sebuah muhasabah bagi diriku sendiri bahwa sebenarnya Ayi dan Oyi ialah korban dari kepentingan-kepentingan yang ada dengan dalil pembangunan serta kesejahteraan meskipun mereka sudah sejahtera sejak mereka belum mengenal uang. Selain itu dampak buruk soal menunggu uang juga terasa adanya dengan berubahnya mental Ayi yang biasa berburu meramu tetapi kini hanya menunggu dana-dana yang akan turun dan terus berulang.

Lalu setelahnya tibalah saatnya aku dan tim harus berpisah dengan Ayi, Oyi, Buaya dan Cendrawasih serta segala mahluk hidup pun mati yang ada di Mamberamo Raya. Dimana perpisahan ini terjadi karena tingginya harga transportasi yang menyebabkan kami kewalahan dalam menghadapinya dan kami pun bergegas menuju penempatan baru sesuai dengan instruksi Koordinator yaitu menuju Kepulauan Yapen.