Kisah Patriot Energi III: KOHA!

Penulis: Admin, 03 December 2021
image
Distrik Mapia, Kabupaten Dogiyai

Penulis: Dita Apriani


Koloni Manusia di Ribaan Pegunungan

Rabu 4 minggu yang lalu, hari dimana sebuah cita Tuhan restui menjadi realita. Cita saat ia masih berseragam putih biru yang terkagum dengan koloni manusia yang tinggal di pegunungan yang dilihatnya dari kotak televisi. Dogiyai, kabupaten yang berbatasan dengan kabupaten Nabire di sebelah utara, kabupaten Mimika di bagian selatan, Kabupaten Paniai di sebelah timur serta kabupaten Mimika dan  Kaimana di sebelah barat. Posisinya yang terletak di daerah Pegunungan tengah dengan topografi pegunungan yang mendominasi hampir 85% wilayah Dogiyai (Bappeda Dogiyai, 2017).

Ketinggian desa-desa di Dogiyai berkisar antara 1000-3000 mdpl, tak ayal suhu di salah satu distriknya yaitu Mapia bahkan bisa menyentuh 140C di siang hari dan 110C pada dini hari. 3 hari pertama tinggal disini, tubuhku memberi beberapa respon adaptasi. Alergi dinginku yang tidak pernah kumat berbulan-bulan lamanya, serta merta menjadi disini, mencoba beradaptasi dengan suhu Dogiyai. Kepala ku sering  tiba-tiba merasa sakit dan pusing, rupanya tubuhku perlu waktu untuk beradaptasi dengan ketinggian, mungkin semacam gejala altitude sickness ringan.

Timku tiba di Dogiyai, distrik Mapia sekitar pukul 23.10 WIT. Perjalanan yang ditempuh dari Nabire menuju Mapia memakan waktu sekitar 6 jam jalur darat. Trek yang menanjak, meliuk, dengan sesekali jalan rusak, ditemani hujan deras dan kabut yang turun menyambut perjalanan kami. Mobil kami terus menanjaki jalanan, bersama hawa dingin yang mulai menusuk dan gulita di sepanjang perjalanan. Tidak ada lampu penerangan jalan umum. Sembari mobil menanjak aku berpikir, apa benar ada koloni kehidupan di atas sana?

Esoknya, saat pagi tiba aku baru melihat segalanya. Koloni manusia dengan seluruh kesatuan hidupnya di ketinggian yang menurutku tak biasa. Infrastruktur yang tak selengkap dengan yang ku punya selama di Jawa, tapi berhasil bertahan hidup, berdaya, bertahun lamanya. 

 

Kawan Lokal Pertama

  Hasrat untuk menjelajah kian membuncah, akhirnya kami putuskan untuk berjalan sore di sepanjang jalan utama kampung. Kampung Bomomani Namanya. Disini terdapat sekolah dari SD hingga SMA. Kios-kios pendatang yang didominasi oleh pendatang dari Makassar juga cukup banyak disini. Para mama menjajakan hasil kebunnya di atas selembar kain di pinggiran jalan. Ubi, daun bawang, kacang tanah, daun jipang dan sayur hitam (konon merupakan sayuran favorit suku Mee) menjadi sayuran yang tak pernah absen di pasar ini. Sisanya pisang, jambu, kol dan beberapa hasil bumi lainnya kadang juga turut meramaikan. 

Di perjalanan menuju pasar kami bertemu segerombolan pemudi. “Selamat sore, kakak!” Sambil tertawa geli mereka menjawab “Selamat sore! Tapi kami lebih muda e jang panggil kakak.” Saat kami tanya ternyata mereka semua adalah anak SMP, kecuali satu orang yang baru saja kembali dari Manado setelah menyelesaikan S-1 Keperawatannya, Ina namanya. Ina dkk mengantar kami ke kios paling ujung yang ada di kampung ini, Kios Toraja. Ya, pemiliknya adalah orang Toraja. 

  

Ina

Tiba saatnya aku dan Ina berjalan sore, melewati kampung Egaidimi hingga batas kampung Ekago. Disini babi dan kotorannya berkeliaran dan berserakan di pinggir jalan. Mereka akan pulang ke rumah si empunya pada sore hari katanya. 

Jalan sore diakhiri dengan agenda berbelanja di pasar. Aku hendak membeli sawi, Ina bilang beli di “mama mantu”nya saja (mama mantu, sebutan untuk ibu mertua). Mama dari pacarnya sebenarnya karena Ina belum menikah. Tak mungkin ku padamkan senyumnya yang merekah. Ku iyakan saja sudah. Aku membeli satu ikat sawi, sedangkan Ina, ia memborong semuanya. Alhasil 1 noken besar sawi harus kami bawa. Rika, adik Ina yang masih SMP bertugas membawa satu noken besar berisi sawi. Kami bertemu Rika di jalan, sepulang ia berlatih lagu natal.

Disini para mama biasa membawa barang bawaan dengan noken dan digantungnya tali noken tersebut di kepala. Beberapa menggantungkannya di punggung namun yang paling sering adalah di kepala. Aku penasaran untuk mencoba, ku minta Rika untuk memberikan noken berisi sawi itu padaku. Akupun mencoba menggantungkannya di kepala ku. Terasa lebih ringan dipandingkan ku gantungkan di punggung. Namun ternyata ada efek sampingnya, kepalaku sulit ku tengokkan ke kanan dan ke kiri selama menggendong noken haha. Aku seperti memakai kacmata kuda. Kepala ku tegak dan hanya bisa melihat ke depan. Gemuruh tawa sontak menderu di seleuruh penjuru pasar. Para mama tertawa dengan tawa khasnya “Ahahaai” haha. Tertawa karena senang melihatku mencoba menggendong noken seperti mereka, tertawa karena tindakanku nampak ‘konyol’, ada juga mama yang tertawa sambil mengkhawatirkan apakah aku merasa keberatan, tapi sungguh ada juga mama yang menyuruh Ina untuk membiarkanku membawa noken itu hingga tanjakan di ujung jalan hahaha. Penghuni pasar ini rupanya kompak sekali dalam tertawa. Aku juga tertawa terbahak bersama mereka. Tapi apakah aku sebenarnya sedang menjadi bulan-bulanan warga? Ah, sepertinya tidak, karena kami sama-sama menikamtinya dan tertawa dengan gembira dan bahagia. Sesekali aku tertawa sambil menyapa “Mama~” saat ku temui mama yang tertawa sampai terkekeh. 

Ina yang mengajari ku, “Koha!” Kata yang biasa digunakan sebagai salam. Koha bata, selamat pagi. Koha Agapi, selamat siang. Koha uwata, selamat sore. Koha bunita, selamat malam. Mata mereka nampak lebih bundar saat kusapa dengan kata Koha ketimbang halo, selamat pagi, dsb.

Dari semua itu, sabit senyum mereka yang indah akan membuatmu terpesona. Sungguh, kamu tak akan bosan memandangnya. Karena itu jugalah yang menjadi salah satu alasan aku selalu bersemangat menyapa mereka di sepanjang jalan saat kami berpapasan. Koha!  


“Strength does not come from winning, your struggles develop your strengths. When you go through hardships and decide not to surrender, that is strength.” Mahatma Gandhi.