Patriot Kosong

Penulis: Adang Chumaidi, 13 April 2022
image
Mercusuar Batuatas

“Temannya bu fian mas?” tanya seorang warga lokal dengan kedua tangan di stang motor

“Iya mas” jawabku yang masih oleng seraya mengambil tas carrier dari si alfi

perjalanan 6 jam di kapal kayu dengan kondisi perut sedikit nasi membuat ku oleng (jatlag bahasa kerennya). Beginilah ketika anak daratan yang tumbuh kembang bersama tanah stabil bertemu dengan dendang air laut yang asik bukan main, seakan otakku di suruh goyang oleh alam semesta ini.

“mari mas kita antar ke tempat bu fian” sahut bapak tersebut sambil membawa tas kecil milik kami

“barangnya berat pak, ga barangnya saja dulu?” tanya ku yang tidak yakin dengan kondisi motor bapak

“ga papa, bisa kok mas, maimo” jawab bapak yang menjawab keraguanku

“oh, iya pak” sahutku dengan keraguan yang sudah hilang

“udah kenal lama sama bu fian mas?” tanya bapak sambil melihat jalan aspal

“baru kenal kok pak, sekitar 1 mingguan” jawabku dengan menahan punggung atas tas carier yang ga seimbang dengan motor

Bu fian, seorang perempuan yang suka mondar mandir dari bau bau ke batu atas untuk mengurus koordinasi dari tingkat pemkab ke tingkat desa selama 10 tahun. Ya benar, beliau adalah fasilitator desa di batu atas. Terlihat dengan pakaian beliau yang serba siap kena air dan debu, raut wajah yang tidak takut sinar matahari serta tas dry bag yang buatku iri.

“itu mas rumahnya, masuk saja ke warungnya” perintah bapak seraya menurunkan tas di dadanya

“oke pak, terimakasih” jawabku yang masih geloyoran turun dari motor (masih jatlag)

Sebuah warung gubuk yang syahdu dengan angin manja yang menari-nari seakan mengikatku untuk tiduran di situ. Kita berenam beristirahat di warung makan tersebut. Dari keempat orang sebagai tim konawe (emb bukan, sekarang namanya tim buton selatan) bertambah dua orang, satu bu fian tadi dan satunya korwil kita, mas arya namanya. Mas arya ikut ke batu atas untuk melihat kesesuaian kondisi desa (salah salah kita salah penempatan kan ya ga lucu) dan mengantar kita pemerintah desa masing-masing.

“Gimana perjalananya mas?” tanya pak warung membuka pembicaraan

“aman pak” sahut si AL yang terlihat menahan jatlagnya

“yah beginilah batu atas mas, panas, belum ada listrik, sayur juga dari bau bau, ga bisa ditanam disini” keluh bapak sambil menebar senyum seakan semua baik-baik saja

Mendengar pernyataan tersebut ku teringat dengan mata kuliah geografi sosial. Dimana sudah menjadi naluri manusia untuk hidup dan bertempat tinggal di suatu tepat dengan mengandalkan potensi yang ada di lokasi tersebut. Akan tetapi kenapa beliau berkata seperti itu, apakah ada yang salah dengan teori itu? Apakah tanah di batu atas segersang ini? Apakah pengetahuan masyarakat untuk mengolah tanah yang kurang? Apakah masyarakat terlalu malas untuk mengolah tanah? Apakah pemerintah desa tidak mengetahui potensi yang ada didesanya? Latas apa yang mereka andalakan di tempat ini? Mengapa mereka tetap bertahan di desa ? ada apa didesa ini?. Agh banyak sekali pertanyaan dikepalaku, seakan menambah jatlag yang kurasakan. Daripada ku paksa otak ini lebih baik ku makan nasi merah dengan lauk ayam dan mie instan yang sudah disiapkan.

Selama 3 hari kita lalui di Rujab Timur (Rumah Jabatan Desa Timur) dengan pertanyaan diatas yang masih menghantui. Pernah beberapa pertanyaan ku lontarkan ke pak camat selaku pemimpin pulau batu atas, tapi apalah yang ku dapat, hanya jawaban pasrah dan ga tau apa-apa khas orang dibalik layar TV dengan setelan jas rapi berpin burung kebanggaan negara. Jawaban pasrah yang menggiringku ke pertanyaan bercabang nan membingungkan lainnya. apakah bumi sepelit ini, yang hanya memberikan batu tanpa ada manfaatnya? Apakah ini ujian dari tuhan akan dosa-dosa pendahulunya? Apakah malah manusianya yang bermalas-malasan untuk mencari tahu potensinya? Apakah pemerintah tidak tahu tentang kondisi ini? Atau mungkin akulah yang harus belajar lagi tentang kondisi sebenarnya pulau batu atas ini tanpa merepotkan otak orang lain untuk bekerja memikirkan jawaban yang ku inginkan?. “Kosongkan gelas saja”, fikir ku, toh beratnya pemikiranku adalah akibat aku yang berfikir terlalu keras. Dibawa santai saja, tenang, jalani saja, kata hatiku yang senantiasa menemani pikiran liarku.