Amandus Gawiye Ndiken

Penulis: Sakina Tunissa Anarki, 26 October 2022
image
Amandus Gawiye Ndiken

Namanya Amandus Gawiye Ndiken, namun aku lebih senang memanggilnya dengan sebutan Chene. Usianya mungkin sekitar 13 tahun, aku tidak tahu pasti karena dia sendiri pun tidak tahu kapan tepatnya dia lahir dan menatap dunia untuk pertama kalinya. Chene kehilangan bapaknya setahun lalu karena sakit. Aku tidak tahu bagaimana metode parenting yang diterapkan oleh Mama Maria Fatima selaku mama Chene sehingga anak sekecil itu memiliki karakter yang santun dan menyenangkan.


Aku ingat saat pertama kali bertemu dengannya, bulan Maret lalu di sekolah. Saat itu aku sedang meminta anak-anak untuk menggambarkan makanan favorit mereka. Sebagian anak menggambar ikan, pisang, dan umbi-umbian, sedangkan Chene menggambar pohon sagu. Ketika kuminta dia bercerita ke depan kelas, dia berkata bahwa sagu lebih enak dibandingkan dengan nasi dan dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, sebut saja lempeng, sagu bronjong, yomba, juga papeda. Di akhir kelas, dia menghampiriku di rumah dan bertanya tentang banyak hal. Tentang kampung halamanku, tentang bahasa daerahku, hingga bahasa Inggris yang terdengar asing baginya. Hingga sore hari kami masih sibuk melafalkan bahasa Inggris dari benda-benda yang ada di sekitar mulai dari pisang, kelapa, nasi, sagu, ikan, hingga warna-warna. Jawaban-jawaban yang kuberikan tidak pernah memuaskan rasa ingin tahunya, seperti ketika kami membahas bahasa Inggris dari sagu dia akan langsung menimpali “Baru kalau pangkur sagu apa Kakak?” Pertanyaan spontan yang selalu membuatku berpikir keras, karena dari usia yang sekecil ini dia sangat pintar menghubungkan satu dan lain hal.


Tidak hanya di Kampung Webu, Chene juga senantiasa mengunjungiku ketika berada di Kimaam. Dia selalu mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah dan baru masuk setelah kuijinkan. Setap bertemu dia selalu bertanya kegiatan yang akan kami lakukan di hari itu, apakah belajar menulis, membaca, menggambar, berburu burung pombo, atau memancing. Ketika menggambar bersama anak-anak lain Chene selalu mengalah, membiarkan teman-temannya memilih warna terlebih dahulu. Pun ketika pamit pulang dia akan berada di urutan paling akhir, memastikan tidak ada teman-temannya yang tertinggal. Ketika dia melihatku kepayahan membawa barang, tanpa menawarkan bantuan Chene langsung mengambil barang-barang yang kupegang untuk membantu meringankanku. Dengan senyum lebarnya dia selalu menyapaku, menanyakan kapan aku kembali ke kampung lagi, ataupun kapan dia bisa datang bermain di rumah.


Suatu ketika aku pernah menceritakan tentang tujuanku datang ke kampung, lengkap dengan kata-kata bahwa suatu saat nanti aku akan kembali ke kampung halamanku. Saat itu kulihat Chene hanya terdiam sambil melihatku. Tiba-tiba ekspresinya berubah sedih, kemudian dia berkata “Baru kalau nanti Kakak pergi, siapa yang ajari kami lagi?” Pertanyaan yang sontak membuatku terharu sekaligus sedih di waktu yang sama. Bahwa ternyata kehadiranku bermakna, dan sedih karena tidak bisa lagi memfasilitasi rasa ingin tahunya yang sangat besar. Ketika pertama kali belajar Bahasa Inggris dengan Chene, kukira aku yang akan banyak mengajarinya. Ternyata aku salah. Justru aku yang banyak belajar dari anak sekecil itu, tentang kepedulian, kesabaran, dan hidup di tengah keterbatasan.