(P)Angan Padua Bergizi : Refleksi Program Pemanfaatan Pekarangan Rumah

Penulis: Miqdad Fadhil Muhammad, 24 October 2022
image
Penanaman sayur di pekarangan rumah, Kampung Padua

“Kau biasa makan ubi parut kah?”


Tanya Lukas, anak dari induk semangku selama tinggal di Kampung Padua. Saya yang asing akan olahan ubi yang diparut tersebut hanya terdiam bingung membayangkan bentuk makanan khas orang Pulau Kimaam tersebut. Setelah bahanya utamanya datang, ternyata “ubi” yang mereka maksud adalah umbi-umbian yang selama ini saya kenal sebagai singkong. Mereka mengolahnya dengan cara memarut singkong tersebut hingga menjadi seperti bubur, lalu dilapisi dengan daun pisang beberapa helai dan ditumpuk batu panas serta bara-bara kayu. “Sep”, mereka menyebut olahan ubi parut tersebut. Dengan rasa yang cukup asam, mereka biasa memakan hidangan itu dengan ikan yang dimasak utuh-utuh bersama sep tersebut. Sajian tersebut selalu ditemukan di setiap acara adat masyarakat Kampung Padua. Satu tahun tinggal bersama mereka bisa saya akui mereka memang ulung dalam mengolah berbagai macam umbi-umbian. Selain singkong, umbi-umbian lain juga mudah ditemukan seperti ubi jalar, petatas, serta kumbili. Juga pastinya yang tak akan tertinggal, makanan khas orang papua yaitu sagu. Satu olahan unik khas Padua yaitu yomba, sagu yang dicampur dengan santan kelapa.


up1

Pengolahan Sep, makanan khas Kimaam yang terbuat dari sagu/ubi


Satu paragraf nampaknya tidak cukup menjelaskan kayanya sumber karbohidrat di tanah orang Padua. Makanan pokok yang sebelumnya disebutkan semuanya merupakan pangan lokal yang telah mereka budidayakan bergenerasi-generasi. Bukti akan hal tersebut cukup mudah ditemukan, mereka memeiliki sebutan akan pangan-pangan tersebut di dalam bahasa daerah mereka. Ndakuni (Ubi kayu/singkong), wengkuni (petatas), serta inga (sagu). Berbeda dengan beras yang kini mulai banyak mereka konsumsi juga. Mereka tidak memiliki sebutan untuk beras dalam bahasa daerah mereka dan tidak ada olahan khasnya. Berbicara soal beras tentu menjadi hal yang menarik untuk masyarakat papua yang tidak mengenal sawah sebelumnya. Sawah pertama kali mulai ditanam di daerah Merauke saat masa pendudukan Belanda melalui program lumbung pangannya. Pola yang tidak menunjukan hasil tersebut terus dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia di zaman orde baru melalui revolusi hijau hingga sekarang melalui MIFEE. Pembukaan jutaan hektar hutan untuk mencetak sawah tentunya merubah kondisi alam serta sosial masyarakat Marind di Merauke. Dusun-dusun sagu yang dapat menjadi cadangan makanan hinga berpuluh-puluh tahun itu kian menipis tergantikan dengan makanan pokok para pendatang di tanah mereka. Belum lagi membicarakan soal konflik agraria yang disebabkan program lumbung pangan tersebut. Solusi yang nyatanya menghadirkan pelik untuk orang marind sendiri. Masyarakat Padua sendiri merasakan masalah dari pergeseran makanan pokok tersebut. Mereka mulai membuka sawah-sawah dengan harapan dapat memproduksi beras sendiri karena selama ini mereka harus mengeluarkan uang cukup besar hanya untuk memakan nasi kosong. Namun hasilnya nihil, tiga tahun mencoba, sawah yang mereka buka belum pernah menghasilkan beras sebutir pun.


up2

Sawah di Kampung Sabudom yang gagal panen di tahun 2022 akibat curah hujan tinggi


Di tengah rumitnya persoalan sumber karbohidrat, saya menemukan juga suatu fenomena yang cukup menarik perhatian. Masyarakat Padua tidak memiliki sayuran lokal mereka sendiri. Berbulan-bulan saya coba mencari informasi sayur apa yang mereka biasa konsumsi dulu saat masih tinggal di kampung lama (tengah rawa). Jawaban yang saya dapatkan selalu sama, tidak ada. Entah penggalian informasi yang kurang atau ada pengetahuan lokal yang hilang, yang jelas konsumsi masyarakat Padua akan sayur memang sangat minim. Setiap keluarga pasti memiliki kebun yang relatif cukup luas. Bagaimana tidak, untuk satu kintal rumah saja mereka diberikan tanah seluas 150x150 meter. Belum lagi kintal-kintal non rumah yang dapat mereka buka cukup mudah. Tanah yang luas tersebut mereka manfaatkan untuk membuka kebun, hampir di tiap rumah pasti akan ditemukan kebun umbi-umbian. Tetapi sangat jarang ditemukan keluarga yang menanam sayur-sayuran. Berdasarkan hasil pemetaan yang saya lakukan, dari total 145 hektar kintal perumahan yang terdapat di Kampung Padua dan Sigad, hanya 32 hektar (22%) yang dimanfaatkan untuk menjadi kebun. Sisanya banyak yang dibiarkan dan terbengkalai menjadi ladang ilalang. Dari 32 hektar kebun tersebut, lebih dari 95% merupakan kebun umbi-umbian, hanya kurang dari 5% (+1,6 hektar) yang ditanami sayur-sayuran. Dari segi keseimbangan gizi, jelas kondisi ini akan membawa dampak negative bagi kesehatan masyarakat. Terbukti dari data puskesmas pembantu setempat, dimana terdapat 20 anak stunting di Kampung Padua. Belum lagi jika ditambahkan dengan angka anak kekurangan gizi, bahkan saya menemukan hampir semua anak di bawah 8 tahun memiliki perut busung.


up3

Peta tutupan lahan Kampung Padua&Sigad


Sayur-sayuran yang dapat ditemukan di Padua diantaranya adalah kacang panjang, sawi, serta terong. Selain itu, jelas yang paling banyak dikonsumsi masyarakat adalah daun singkong karena umbinya merupakan makanan pokok mereka. Sayur yang memang sengaja ditanam tersebut bibitnya mereka dapatkan dari bantuan puskesmas atau membeli di pasar distrik. Bibit tersebut merupakan bibit sayur hibrida produksi pabrik jawa yang memang beredar di Kabupaten Merauke. Kondisi-kondisi serta permasalahan yang ditemukan tersebut akhirnya membawa saya beserta masyarakat merumuskan strategi intervensi yaitu pemanfaatan pekarangan rumah untuk penanaman sayur. Langkah awal yang dilakukan yaitu dengan memetakan pekarangan rumah masing-masing KK dan membuat peta rencana penanaman. Dari hasil riset kebutuhan gizi, masyarakat menambahkan sayuran apa yang dapat memenuhi asupan gizi seimbang. Sebanyak 30 lebih KK melakukan pemetaan tersebut dan menghasilkan kelompok-kelompok penanaman di tiap RTnya. Realisasi setelahnya ternyata cukup sulit. Tidak banyak keluarga yang langsung berinisiatif menyiapkan lahan untuk ditanami sayuran sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Di awal, hanya terdapat satu keluarga yang dibantu beberapa orang yang membuka lahan pekarangan mereka untuk ditanami sayur. Ketersediaan bibit juga menjadi masalah, harapan penggunaan bibit lokal atau bibit yang dapat dibudidayakan secara berkelanjutan cukup sulit terealisasi. Akhirnya saya harus membantu pengadaan bibit dengan membeli bibit hibrida yang dijual di toko-toko. Beberapa sayur baru yang ditanam yaitu kangkung, bayam, serta timun. Saya membantu monitoring perkembangan tumbuhan dengan metode fotogrametri. Tiap minggunya saya melakukan pengambilan data foto udara untuk melihat perkembangan tiap-tiap sayuran. Monitoring dengan metode ini ke depannya dapat dikembangkan untuk berkolaborasi dengan para ahli pertanian yang tidak dapat hadir ke lapangan secara langsung untuk memberikan analisis dan saran perawatan tanaman tersebut. Selain itu, monitoring juga dilakukan secara langsung dengan mengamati kondisi fisik tanaman. Dari pengamatan ini didapatkan beberapa tanaman diserang hama dan menyebabkan gagal panen untuk beberapa tanaman seperti bayam. Kendala dari permasalahan ini adalah saya juga masyarakat tidak memiliki pengetahuan untuk pengendalian hama.


up4

Denah kebun pekarangan rumah, Kampung Padua


Setelah kurang lebih 5 minggu dari penanaman, beberapa tanaman mulai memasuki masa panen. 2 tanaman yang hasilnya cukup memuaskan yaitu kangkong dan sawi. Dari 2 bedeng ukuran 10x1,5 meter, dihasilkan kangkung sebanyak 70Kg. Jumlah tersebut dapat memenuhi kebutuhan sayuran satu keluarga sebanyak 35 kali makan. Belum lagi ditambah dengan sayuran lain seperti sawi, kacang panjang, timun, serta terong. Hasil tersebut membuat keluarga-keluarga lain tertarik untuk menanam sayuran juga di pekarangan rumah mereka. Beberapa keluarga mulai menanyakan ketersediaan bibit kepada saya ataupun warga lain yang sudah menanam. Hingga program patriot berakhir, terdapat total 5.000 m2 pekarangan dari 6 rumah di 4 RT berbeda yang telah dibuka menjadi kebun sayuran. Angka tersebut memang kecil jika dibandingkan dengan perkebunan skala besar yang ditujukan untuk tujuan komersil. Akan tetapi jika tujuannya adalah untuk pemenuhan gizi keluarga, angka tersebut cukup memenuhi jika memang masyarakat mengonsumsi hasil panennya. Kenyataannya setelah panen, masyarakat justru lebih banyak mengalokasikan hasilnya untuk dijual dibandingkan mereka konsumsi sendiri. Kondisi sosial dan budaya ternyata sangat memengaruhi tindakan masyarakat akan hasil panen mereka. Tujuan penanaman untuk pemenuhan gizi masyarakat pada akhirnya masih belum tercapai sepenuhnya.


up5

Hasil penanaman kangkung selama 4 minggu


Motif ekonomi masyarakat yang sangat kuat lagi-lagi mengalahkan pemenuhan kebutuhan manusia paling dasar yaitu pangan yang berkualitas. Jika melihat potensi ekonominya, memang hasil panen tersebut cukup menjanjikan dimana 1 ikat kangkung (+250 gram) bisa dijual seharga 5.000 rupiah. Apalagi jumlah penghasil sayuran tersebut dalam satu kampung masih relatif sedikit. Tetapi hal ini yang pada akhirnya perlu diubah. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi mereka jauh lebih penting dibanding dengan uang yang akhirnya dibelikan beras atau makanan-makanan sekunder. Ibarat menukar sayuran kaya nutrisi yang mereka butuhkan dengan sumber karbohidrat yang padahal sudah melimpah. Jika pola ini yang terus dipelihara, rasanya pangan padua yang bergizi hanya akan menjadi angan hingga mati.


up6

Dua anak Padua yang terlihat memiliki perut busung memegang hasil panen sayur.