Masa? Ko? Masako?

Penulis: Dita Apriani, 19 October 2022
image
Rica (Cabai) Bakar

Kala itu saya sedang melakukan inventarisasi LTSHE di Abouyaga, sebuah kampung dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl yang tidak memiliki satu kios pun di dalamnya . Kala itu masyarakat sedang berkumpul di pusat desa untuk sebuah pertemuan. Para lelaki duduk di bagian depan dan para mama duduk di bagian belakang bersama anak-anak. Para mama ini berbincang sambil memakan camilan, jambu air. “Ibu, mau kah?” ujar seorang mama menawariku jambu air. “Boleh mama, ini asam kah tidak?” tanyaku. “Ah tidak, tidak asam.” Jawabnya meyakinkanku. Hanya dalam hitungan detik jambu itu berhasil membuat tubuhku bergidik. “Mama ini asaaam” protesku sambil tertawa. “iyo kah? hahaha” mama tertawa lepas. “Ibu, pakai bubuk ini sudah. Supaya tidak asam.” Mama menyodorkan serbuk putih kekuningan yang ada di tangannya. Masako, ya masako bukan garam. Mama memintaku membubuhkan masako di jambu airku supaya tidak asam. Lidahku yang baru berkenalan dengan jambu air rasa masako ini hanya mampu berkenalan “satu kali”. Biar sa makan jambu asam sudah.

Di Diyoudimi, desa dengan ketinggian sekitar 1500 mdpl yang memiliki cukup banyak kios di dalamnya, memberi kesempatan bagi anak-anak menikmati berbagai macam camilan. Siang itu saya dan anak-anak sedang duduk-duduk sambil mengobrol di bawah pohon.

“Tanta, mau jahe tumbuk kah?” tawaran dari seorang anak bernama Eta sampai ke telingaku.

“Jahe tumbuk?”

“iyo, bisa makan? tanyanya memastikan

“Mana, mari sa coba” Eta langsung berlari ke arah dapur disusul beberapa anak lainnya.

“Tanta, mana tangan” dia memintaku mengulurkan tanganku. Seketika benda padat basah kecoklatan mendarat di telapak tanganku. Kupotong dan coba ku gigit benda itu. Pedas khas jahe namun tertutup rasa masako. Masako rasa jahe ini namanya.


Whats-App-Image-2022-10-19-at-02-03-20

(Jahe Tumbuk)


“Enak to?” tanya Eta memandangku sebentar sambil masih sibuk membagi jahe tumbuk untuk temannya yang berebut minta bagian.

“Eta, cara buat jahe tumbuk ni bagaimana kah?

“kita ambil jahe to segini, baru kita cuci, lalu kita kasih hancur dia (dia memperagakan gerakan menggaruk jahe dengan kukunya), baru kita kasih masuk kesini, campur dia, sudah”

Aku yang bukan sahabat baik masako hanya bisa terdiam dan menahan mual dengan rasa masako yang begitu pekat.

“Tanta, kalau pakai yang rasa ini (dia menunjukkan kemasan masako rasa sapi) tu paling mantap”

Aku hanya bisa menjawab dengan senyuman.

“Tanta, mau tambah?”

“Ah tidak usah, ini sa punya masih ada. Kasih habis sudah.” Jawabku lugas.

Anak yang jahe tumbuknya sudah habis kembali berebut meminta bagian. Sedangkan tanganku masih sekuat tenaga memegangi sisa jahe tumbuk yang tidak bisa kumakan lagi.

Tak lama setelah jahe tumbuk habis, tawaran camilan lainnya datang.

“Tanta, bisa makan rica (cabai) bakar?”

“Aduh, sa ni tidak kuat makan pedis e”

“Ah ini tidak pedis. Pedis itu sedikit saja.”

“Ok, sudah. Mari sa coba” jawabku percaya diri.

“Sabar, rica tumbuk tu Oto yang paling jago (bikin). Sebentar dia ni sedang ada buat di belakang.”

Tak lama Oto pun datang, membawa bongkahan kristal karamel kecoklatan di potongan botol air mineral 1,5 L.

Aku mengambil sejumput dan mencobanya.

Rasa lidahku seperti tertampar. Masako rasa cabai.

“Eta, cara buat rica bakar ni bagaimana kah”

“Cabai tu tumbuk dia to sampai hancur baru aduk dengan masako baru bakar”

Pusing dan mual semakin nyata terasa. Camilan ini tidak cukup ramah bagi -bukan sahabat- masako. Beberapa anak kemudian mulai sering terlihat memakan masako sambil berjalan-jalan dan bermain di jalanan desa. Aku hanya bisa merenung tentang resiko jangka panjang yang bisa mengancam kesehatan mereka dengan pola konsumsi masako yang mereka lakukan secara berlebihan, sembari tetap menggengam erat tangan kananku yang mulai melengket karena masako yang menempel di jahe tumbuk mulai meleleh.