BELAJAR KESADARAN DARI PETANI

Penulis: Faizal Rohmiani, 19 October 2022
image
Hamparan Kebun Semangka

Sambil menikmati semangka Wunlah yang manis bersama dengan hembusan angin sepoi yang memberikan kesegaran sore hari itu, banyak pikiran yang terbersit dalam otak ini. 


“Mama, kalau ada semangka yang jelek, atau gagal panen bagaimana la?”, tanyaku pada mama yang sedari tadi menikmati semangka bersama mama Yos. 


“Biar kata rejeki ini masuk dari tiap-tiap orang lai, jadi katong mau bikin bagaimana, katong yang menanam tapi Antua (Tuhan) yang menumbuhkan dan membuahkan. Jadi ya begitu, menikmati berkat apa yang Tuhan berikan. Itu saja”, jawab Mama Yos dengan senyuman.


Perkataan sederhana tapi penuh dengan kesadaran. Kesadaran tentang “segala sesuatu yang sudah berkaitan dengan rezeki”. Kesadaran luhur mereka akan keterbatasan diri sebagai manusia. Mereka menyadari bahwa dirinya hanyalah bagian dari sistem alam dan sistem sosial yang begitu misterius dan rumit. Namun demikian, mereka memiliki daya kognisi untuk menganalisis dan berinterpretasi. Dalam usahanya merawat tanamannya, mereka tetap memaksimalkan daya analisisnya di samping menyadari akan ketidakmungkinan kemampuan menginterpretasikan seluruh realitas rumit alam itu. Maka pasrah kepada Dzat yang memberi rezeki merupakan sikap luhur yang sekaligus juga menjadi kekuatan mental dalam menghadapi masalah.  


“Mama dong punya sekitar delapan bedeng, cuma empat bedeng yang bisa dipanen, empat bedeng gagal. Akang ceper-ceper semua, lalu seng bisa dipanen”, tambah Mama Yos menjelaskan. 


Saya mulai berfikir ulang tentang rumus dalam kehidupan ini. Rumus “jika p maka q” tidak berlaku untuk semua. Kenyataan tidak sesempit itu. Takdir tidak selalu berbanding lurus dengan ekspektasi. Jika p tidak harus maka q, boleh jadi maka a, maka j, maka u, dan seterusnya. Maka boleh diartikan, logika tasawufnya adalah urusan “jika” adalah urusan hamba, lalu urusan “maka” adalah hak perogratif Tuhan. Boleh saja kita berekspektasi tentang “maka”, tapi jangan sampai meyakini sepenuhnya, sebab kecewa itu sakit dan bukan menjadi bagian dari kuasa kita.